29

514 71 21
                                    

Ngeong kaget tercipta kala Luna sekonyong-konyong meraup Coco yang belum selesai dengan ikan tuna menu makan malam ini. Alhasil, raungan protes si buntalan bulu tercecer sepanjang perjalanan dan menghilang setelah pintu kamar ditutup dengan kekuatan yang lumayan.

Sudah tiga jam lalu, mungkin. Luna tidak bisa sekadar menentukan kapan, pikirannya terlalu carut-marut.

Jarum penunjuk waktu telah menapak di satu jam menuju tengah malam, tetapi Luna masih terjaga. Matanya yang berpendar kosong belum dihinggapi kantuk barang sedikit. Coco mengerung kecil, sudah anteng mengarungi alam mimpi.

Namun, tak lama si kucing terbangun, bersuara terus menerus dan mencakar-cakar kaus Luna. Dia lapar. Luna yang akhirnya bisa merasakan rasa bersalah pun beranjak, mengambilkan camilan. Coco kembali bergelung di kedua kakinya yang terlipat.

"Co," sebut Luna tanpa sahutan. Sosok terpanggil sedang sedang sibuk menguyah.

Luna menelan ludah susah payah, berat sekali hanya untuk berbicara pada seekor mamalia. Coco kenyang berbarengan dengan Luna yang baru selesai mengumpulkan keberanian. Akan tetapi, di saat-saat terakhir ia justeru urung melisankan apa yang telah dipersiapkan. "Semuanya bakal tetep baik-baik aja, kan, kalo aku pura-pura nggak tau?"

Coco membalas dengan nada malas.

"Kok kamu gitu sih?" Luna manyun, memandang Coco terluka seakan-akan paham bahasa hewan.

"Meong meong!"

"Iya tapi nggak usah bilang aku bodoh juga!"

"Meong meong meong."

"Ini aku lagi berusaha mempertahankan keluarga kita, lho. Biar kamu nggak broken home. Emang kamu mau?"

"Meong."

Napas Luna tersendat di tenggorokan, tidak sangka Coco akan setega ini. "... Jahat banget sih kamu."

Luna menutup mulut dengan kedua tangan dramatis, sedangkan Coco yang jengah melompat dan pergi ke tengah kasur.

Mata Luna berkaca-kaca, jiwa melankolis yang terpanggil benar-benar membuatnya totalitas menikmati peran. "Kita lagi ngomong masalah yang krusial tapi kamu malah bobo. Bener-bener nggak habis pikir aku sama kamu."

Diabaikan.

Sambil cemberut Luna meraih ponsel dan mencari nomor kontak seseorang yang telah ia minta dari Erina. Kalau soal jadi detektif abal-abal, cewek itu memang bisa diandalkan. Dalam waktu singkat, apa yang Luna minta sudah ada di tangan.

Panggilan tidak terjawab beberapa kali, Luna sudah jengkel. "Awas kalo yang ini nggak diangkat lagi, gue kirimin sintet lo besok."

Serak khas bangun tidur menyeberang ke speaker ponsel Luna. Orang di ujung sambungan terdengar grasak-grusuk, menggerutu, "siapa sih yang nelpon malem-malem? Elah orang lagi enak tidur juga" baru menyahut. "Hmmm. Halo?"

"Halo."

"Siapa nih?" tanya parau sampai ke telinga Luna.

"Luna."

"Hah?"

"Luna."

"Luna?"

Empunya nama menutup mata kuat-kuat, menahan emosinya agar tidak meluap. Tapi, aduh, mengingat yang bicara dengannya adalah Hesa, mana bisa Luna tidak sentimen. "Iya, Luna."

"Bentar. Luna yang mana dulu nih? Luna Maya atau Lucinta Luna?"

Goblok.

"Aluna Pradipta."

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang