Aksa anak tunggal, satu-satunya dari Bunda Meyra. Berkilo-kilometer terpaut di antara rumahnya dengan Luna. Dua puluh menit jika arus lancar tanpa kendala.
Berbeda dengan kediamannya yang mengusung tema american classic, milik Aksa modern minimalis. Halamannya tidak semenghampar rumah Luna, jarak gerbang-teras tidak terlalu jauh– satu poin yang paling Luna suka. Tidak ada gerbang samping apalagi belakang.
Sementara garasi rumah Luna berada di kiri samping, masuk ke bagian bawah rumah dan cukup untuk sepuluh kendaraan roda empat sekaligus, garasi di rumah Aksa hanya muat dua mobil dan satu motor, namun ada carport untuk menanggulangi kapasitas yang sewaktu-waktu mungkin bertambah.
Ruang keluarganya berhawa hangat dengan sentuhan tekstur kayu. Tujuh lukisan dalam ukuran bingkai berbeda-beda mendapat penataan artistik. Dua berupa line art, empat abstrak, satu sisanya adalah kaligrafi jawa berbentuk burung.
Luna disambut antusias, senyum hangat dan kukis beraneka ragam serta jus apel yang disuguhkan langsung oleh Bunda Meyra. Lewat percakapan ringan yang menjembatani kesan pertama masing-masing, Luna jadi tahu jika Aksa punya ayah sambung. Lelaki dewasa di foto keluarga itu adalah orang asing yang masuk ke keluarga mereka dua tahun lalu.
Mengikuti refleks, Luna pandangi potret yang katanya diambil beberapa saat pasca pernikahan kedua Bunda. Aksa mengenakan jas hitam, tubuhnya tidak sebesar sekarang– tampak lebih kurus dan berwajah dingin, persis seperti pertama kali Luna menjumpainya.
"Ayah kandung Aksa sekarang udah bahagia dengan keluarganya."
Begitu yang dikatakan Bunda tetapi hanya dengan berpindah ke kamar Aksa, Luna mendapat kalimat bertolak belakang.
"Dia udah puas sama Bunda dan balik ke istri pertamanya."
Informasi ini terlalu mengagetkan, sehingga Luna kelimpungan mengendalikan responsnya yang terperanyak; mata terbuka lebar dan tangan yang menutup mulut. Beruntung Aksa tidak mempermasalahkan.
Kursi belajar ditempatkan membelakangi, tetapi presensi tinggi itu dibawa duduk berhadap-hadapan dengan yang lebih kecil; tangan dilipat di atas sandaran, lantas menumpu dagu di sana. "Gue anak yang nggak diharapkan ada, makanya dia cuma mau menikah secara siri, nggak ngasih nafkah dan menjalani peran sebagai Ayah yang brengsek."
Apa lagi ini, sungguh Luna terguncang mendengarnya. Tidak dari sikap, tidak dari perilaku, Aksa sama sekali bukan cerminan latar belakang keluarga seperti itu.
Pemikiran Luna ditepis kekeh sumbang. "Nyatanya emang gitu. Gue bahkan nggak bener-bener ngerasa punya Ayah. Dia jarang pulang. Sekalinya pulang cuma buat mukulin kita, ngelampiasin amarah atas masalah pekerjaan atau masalah di keluarga utamanya. Selama ini yang gue punya cuma Bunda, karena setelah ada Papa pun, semuanya nggak jauh beda. Beliau sibuknya ampun-ampunan, sama kayak dia. Papa suka dinas ke luar kota. Malahan kadang Bunda dibawa, gue ditinggal sendiri. Tapi bagusnya sifat Papa nggak kayak dia. Papa bertanggung jawab, baik dan sudi nanyain kabar gue sesekali. Papa rutin kirim duit buat gue secara pribadi. Cukup lah buat ladenin pacar gue yang doyan jajan." Di akhir pemaparan panjang lebar ini, Aksa memencet pucuk hidung Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...