Lalu apa yang harus dia lakukan setelah mendengar semua kenyataannya?
Pertanyaan itu terus bergaung di telinga Luna sampai-sampai omelan Rendi yang memberondong tidak sedikitpun berhasil mengusik gemingnya. Dibawa berkendara dalam mobil, perasaan Luna sama semrawutnya dengan lalu lintas sore ini.
Meskipun kesal usai dibuat menunggu berjam-jam, terjebak di tengah sikap tidak biasa si sahabat, tetap khawatir Rendi muncul ke permukaan. Terutama ketika melihat tatapan Luna kosong mengambang.
"Ibu nitip beli buah di Supemarket. Abis itu kalo lo mau langsung pulang-"
"Ren."
"Hm?" Si cowok di belakang kemudi menoleh sekilas, arah dibelokkan sebelum kendaraan terparkir dengan aman.
"Gue mau ikut ke rumah lo aja."
Mesin dimatikan, Rendi mengangguk. "Boleh, tapi bantu pilihin buah dulu. Upahnya tar gue beliin Lemonilo yang ada poto-poto bitiesnya."
Sekejap Luna terdiam. "Itu Nct."
"Lha, emang iya?"
"Iya."
"Ya udah lah terserah," Rendi mengguncangkan kepala tanda tidak peduli. "yang peting, kan emihnya."
Luna mengintil di belakang Rendi sambil bilang, "Tapi gue Exo-L."
"Belinya Oreo kalo gitu."
"Itu Blackpink."
Tungkai Rendi direm tanpa peringatan. Luna yang hampir bertubrukan dengan punggungnya bisa mendengar cowok itu mendesis galak, lantas bermanuver dengan wajah keki. "Mending lo tunggu di mobil, gih."
Luna mundur selangkah gara-gara alis tebal di depan matanya menukik tajam seperti golok habis diasah- membikin Rendi kelihatan marah besar. Meskipun begitu, Luna tetap memberanikan diri mencicit, " ... Mau ikut."
"Jangan banyak cengkunek makanya," kata Rendi kembali memimpin jalan. Kalau dia sudah bersabda dengan menyertakan kata keramat warisan dari Om Irwan, artinya Luna hanya perlu diam agar selamat. Begitu sampai, Rendi langsung mendorong troli- sempat juga iseng menawari Luna kalau-kalau ingin masuk ke dalamnya.
"Mana cukup." Giliran Luna yang nyolot.
Rendi menjawab dengan kerlingan jenaka khas dirinya. "Cukup lah. Dua Luna juga cukup di situ."
Luna mendelik, melarikan tatapan ke sekeliling agar lepas dari mulut menjengkelkan Rendi.
Omong-omong, niat awal yang hanya ingin membeli buah sedikit berbelok ke lorong berisi jajaran makanan ringan. Setengah jam berkeliling, entah bagiamana caranya Luna malah terpisah dari Rendi. Dia nyasar ke antara rak tinggi. Sambil celingak-celinguk langkahnya masuk ke wilayah makanan kucing. Mendadak Luna teringat Coco. Apa anaknya itu diberi makan dengan benar?
"Ya Allah, Luuun." Sebuah suara berima lega terdengar dari arah belakang, menoleh. Rendi mengembus napas tapi ekspresinya agak kesal. "Hobi banget bikin orang panik. Ilang-ilangan mulu kerjaan lo."
Dicecar begitu, Luna menuding apa yang sedari tadi ia pandangi sambil berjongkok mepet ke pojok. "Makanan Coco udah mau abis."
"Mau beli itu?" Sabar sekali Rendi menghadapi Luna, padahal setengah mati sedang menahan diri agar tidak meraup mukanya. Bukan tanpa alasan, Luna memiliki paras imut yang manipulatif dan sangat bisa digunakan sesuai situasi. Pada akhirnya, Rendi lah yang harus mengalah.
"Nggak. Mama pasti udah beliin, kok."
Ya terus mau lo apaaaa. Tadinya Rendi sudah akan memutar bola mata, tapi tidak jadi karena dia melihat Luna mencebik. Kenapa lagi ni anak?
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...