22

390 58 12
                                    

Malam beranjak matang ketika Luna diteror serentetan pesan dari Aksa. Sehabis tiga-enam denting tak dihiraukan, bising ponsel kian rapat dan hampir tanpa jeda. Semenit menahan diri, kesabaran setipis kertasnya tersentil. Luna mengumpat gemas akhirnya.

"Berisik banget deh ah si anak babi!"

Padahal Luna deg-degan setengah mati selama menggosok gigi, berlarian di kamar sendiri sebelum melompat tengah kasur, tetapi Aksa tak membiarkannya menikmat pelepasan hormon adrenalin itu dengan syahdu.

Hey, Luna sedang paranoid!

Adegan film horor tadi memprovokasinya untuk menggeser ranjang sampai mepet dan tidak menyediakan celah sedikitpun.

Sekarang mau tak mau skenario tidur membelakangi tembok dan membiarkan lampu menyala gagal total. Bukan apa-apa, Luna hanya antisipasi terhadap serangan hantu. Gezz, memikirkan wajah mengerikan muncul tiba-tiba membuatnya meremang!

Luna menekan opsi panggilan, bicara dengan suara halus. "IYA, BENTAR!"

Patut diketahui, sebelum berguling, tersandung dan jatuh saat menata ulang kamar, serta menutupi seluruh cermin dengan kain, energi Luna sudah lebih dulu terkuras usai menghadapi orang tuanya yang pulang berziarah langsung marah-marah. Terlebih Wina, wanita itu naik pitam. Sebuah vas bunga dilempar, pecah berserakan di dekat kaki Luna.

Bukan disengaja– mungkin, Luna tidak yakin seratus persen. Pasalnya Wina bisa tahu posisinya dengan tepat seolah memiliki radar untuk mendeteksi. Luna penasaran sudah sebesar apa dendam kesumat Wina padanya, saking insiden tadi sangat mencurigakan untuk disebut kebetulan.

Suara gaduh yang menembus pintu kamar mengganggu agenda marathon drakor yang sudah digeluti sejak pagi. Luna baru sampai di ujung tangga kala itu. Dia tidak sama sekali terluka, namun jantungnya serasa melompat ke tenggorokan.

"Mama kenapa, Pa?" Luna bertanya, menghampiri Cakra setelah susah payah melewati pecahan beling.

Cakra mengurut pangkal hidung, tubuh tingginya tersampir lemas di sofa ruang tengah. "Mama liat sesuatu yang nggak seharusnya di makam Kakak kamu."

"Apa?"

"Bunga."

Oke ....

Jadi setan kecil dalam diri Wina aktif hanya karena bunga? Super lawak.

"Kakak kamu paling gengsi soal bunga. Kamu tau sendiri dia nggak bakal terbuka sama siapapun kalau dia suka sama bunga."

Uhum. Jujur saja otak Luna belum bisa mencerna.

"Di makam Kakak kamu ada bunga kesukaanya. Menurut kamu, kemungkinan orang yang tau hal itu siapa selain kita?"

Baiklah. Luna sudah tahu duduk perkaranya.

"Mungkin temennya."

"Papa bisa jamin kalo temen-temennya bahkan nggak tau makanan kesukaan dia."

"UDAH PASTI SI BRENGSEK ITU!" Wina menjerit mendengar percakapannya dengan Cakra.

Luna menarik napas. Wina bersikap seakan telah hilang setengah kewarasan cuma dengan memikirkannya. Apa jadinya kalau dia tahu seperti apa kekasih dari Radin? Mungkin cowok entah siapapun itu sudah mati tercabik-cabik sedari lama. "Belum tentu, Ma."

"Kamu tau apa, hah?! Tidak usah membela laki-laki bajingan itu! Atau jangan-jangan selama ini kamu tau orangnya!"

"Apaan sih, Ma, kok jadi nuduh Luna?"

Suara Luna yang gamblang ketidakterimaan memicu perdebatan yang seharusnya tidak terjadi. Wina bicara pakai nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk, memperkeruh keadaan. Sedang Luna sebagai remaja yang penuh luapan ego tentu tidak sudi diperlakukan begitu. Setengah jam cukup kacau, Cakra menghentikan perdebatan dengan suara bariton yang membelah atmosfer sengit antara mereka.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang