Sulur-sulur cahaya matahari pertama pagi ini berbaur dengan hawa perdebatan alot antara Luna dan Aksa. Salah satunya bersikukuh ingin pulang sendiri, yang lainnya keras kepala ingin mengantarkan.
Aksa sedikitpun tidak terpengaruh sewaktu Luna mencak-mencak seperti orang kesurupan– tidak seekstrem itu sebenarnya, tapi yang jelas Luna sampai mengerung saking kesal.
"Lo pergi dengan keadaan baik, maka harus pulang dengan keadaan baik pula. Dan gue mau mastiin itu. Lagian mobil gue masih di rumah lo."
Sontak langkah Luna terhenti. "Lo sinting?!"
"Terakhir dicek masih waras sih." Berbeda dengan Luna, Aksa masih sanggup tersenyum konyol. Tidak mengantisipasi bahwa kelakuannya berpotensi mendatangkan tamparan maut. "AW!!"
Aksa melotot, mengusap lengannya yang terasa sakit. Tapi dia tidak lanjut protes, sebab muka Luna sangat menyeramkan. "Udah, ah. Ayo balik. Lo pasti dicariin Om sama Tante."
Luna menepis niat Aksa yang ingin meraih jemarinya. "Kalo gitu lo juga mesti balik. Orang tua lo pasti sama khawatirnya. Gue bisa sendiri."
Bagai tak mampu menangkap kecemasan dalam figur Luna, Aksa justeru dengan santai bilang, "Gue bawa lo pergi, berarti gue juga yang mesti balikin lo. Kata Bunda, itu yang namanya tanggung jawab."
Aksa sengaja meninggalkan kendaraannya sebagai pertanda untuk orang tua Luna jika yang membawa anak mereka adalah ia. Mereka tidak perlu terlalu kalut karena kemungkinannya sudah jelas. Tidak ada yang bisa disalahkan selain Aksa. Setidaknya mereka tahu harus menonjok siapa dan bisa mempersiapkan diri.
"Sekalipun bakal dilaporin ke polisi dengan tuduhan penculikan, gue bakal tetep hadapin orang tua lo."
Karena itulah, sekarang Aksa sedang diganjar habis-habisan oleh Cakra. Sama sekali dia tidak melawan, hanya sebisa mungkin bertahan dan melindungi bagian vitalnya agar tidak terkena serangan membabi buta. Cakra sudah tersulut oleh nafsu amarahnya. Benar-benar tidak terkendali.
Meskipun keinginan untuk melompat dan melindungi Aksa sangat mendesak, sekuat hati Luna menahan diri. Dia tidak boleh ikut campur atau masalahnya tak akan selesai sekaligus. Luna paham betul tabiat Cakra, laki-laki itu pendendam. Jika kemarahannya diinterupsi, emosinya akan merembet kemana-mana. Cakra akan melakukan apapun sampai ia puas. Luna takut kalau-kalau ternyata keluarga Aksa memiliki ikatan kerjasama perusahaan dengan Cakra.
Rintihan pelan yang melantun dari bibir Aksa tiap kali Cakra menambah pukulannya, mengubah setiap langkah Luna jadi sengsara. Teras rumah seolah menjauh lima kilometer. Suara-suara lain memudar dan hanya penyiksaan di belakang punggungnya yang terdengar. Coco mengeong menyambut, namun Luna tidak punya kuasa untuk tersenyum dan memeluk si kucing seperti biasa.
"Luna!"
"Luna!"
"Aluna Pradipta!"
"Apa, Ma?!" Luna sewot, tapi suaranya pecah. Ia menghadap Wina dengan kalut. "Luna bakal terima hukuman dari kalian, apapun. Tapi sebelum itu, sebaiknya Mama cegah Papa jangan sampe bunuh anak orang. Luna naik dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...