Dari sekitar 510,1 juta km² luas bumi, selalu saja ada manusia yang menumpang bernapas di dalamnya mengatakan kalau "dunia ternyata sempit, ya". Termasuk Erina, teman seperjuangan merangkap tetangga bangku Luna.
Mengherankan, memang. Apakah harus Luna tulis berapa banyak angka nol untuk menggantikan kata "juta" itu agar Erina paham jika dilihat dari luar angkasa dirinya tak tampak sebagai setitik debu pun saking luas hamparan bumi.
Akan tetapi, mungkin hari ini waktunya Luna akui kalau Erina, teriak jengkel dan kalimat "Itu cuma perumpamaan Lunaaaaaaa"-nya benar.
"Lo kenal?"
Sembari menarik ingus, Luna alihkan atensi. Erina yang menghadap nampan berisi rendang, capcay dan segumpal makanan lain yang tidak ia ketahui namanya kini memenuhi pandangan. "Nggak."
"Kepincut?"
"Nggak." Mengikuti jejak cewek yang saat ini masih menatapnya dengan kilat penasaran, Luna bersiap mengambil satu suapan.
"Terus?"
"Nggak ada terusannya," jawab Luna cuek, memilih memanjakan indra pengecapnya. Hm, Luna mesti berterimakasih pada siapa pun yang bertugas di dapur sebab makanan kali ini tidak terlalu buruk. Setidaknya lebih baik dari sayur hambar kemarin.
"Itu mah karena lo lagi pilek, jadinya lidah lo bermasalah. Orang hari ini capcaynya keasinan," bantah Erina. Separuh cemberut dia menyodorkan tisu pada Luna. "Ke rumah sakit, gih. Sampe meler gitu. Idung lo udah merah banget dipencetin dari tadi."
Untung Luna sabahabatnya. Kalau bukan, pasti Erina sudah berteriak berang sejak tadi karena berani-beraninya menyeka ingus sembarangan. Di depan makanan pula.
"Nanti juga sembuh sendiri. Gue udah biasa kayak gini."
"Tapi gue yang masih belum biasa," gerutu Erina pakai suara sepelan mungkin sampai-sampai orang di seberang tak bisa mendengarnya.
Tadinya Erina ingin mencoba fokus menyantap saja, akan tetapi tingkah polah Luna membuatnya tidak bisa konsentrasi. "Katanya gak naksir tapi lo liatin dia segitunya."
"Siapa yang liatin? Gue nggak tuh."
Erina berdelik. Jelas-jelas ia menghitung satu menit tujuh belas detik yang Luna gunakan untuk memperhatikan orang itu. Cih. Luna dan gengsi setinggi langitnya masih bisa berkilah bahkan setelah tertangkap basah. Sekalian saja Erina beri umpan. "Murid baru di kelas sebelah tuh."
Tetapi reaksi Luna atas Erina yang mempermainkan alisnya menggoda hanya sesederhana, "Oh."
Lagi, tak habis-habis Erina dibuat mendelik julid. Namun, dia tidak akan cepat menyerah. "Ganteng banget, ya?"
Spontan kunyahan di mulut Luna memelan, pemandangan yang Erina perhatikan dengan seksama. Dia tahu betul jika Luna tipe orang yang sulit ditebak. Selama hampir lima tahun bersahabat dengannya, tidak pernah sekali pun Luna blak-blakan soal ketertarikannya pada sesuatu selain duit, apalagi seseorang– perkara dia yang ditolak Davi adalah pengecualian.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...