"Kita nggak bisa keluar lewat samping atau depan."
"Kenapa?"
"Ntar diciduk Pak Satpam."
Bagaimana Aksa bisa lupa. Sekarang hampir tengah malam dan Luna tergolong buronan kalau keluyuran di jam itu. "Terus lewat mana?"
"Lo mau bawa kabur guenya jauh atau deket?"
Dahi Aksa spontan mengerut, kurang setuju dengan kata-kata yang dipilih Luna.
Berdecak. "Iya, iya. Lo mau ajak anaknya Pak Cakra sama Bu Wina ini keluar malem-malem tanpa izin menuju tempat yang belum pasti itu berapa jauh jaraknya? Mesti pake kendaraan nggak?"
Tidak terdengar lebih baik.
"Nggak. Agak deket dari sini."
"Oke, kalo gitu ikut gue."
"Ke mana?"
Secara instingtif, Aksa turut mengendap-endap dan melompat masuk ke dalam bayangan sederet pohon yang tumbuh di halaman samping kanan. Si empunya rumah yang baru Aksa sadari ternyata sangat luas ini, memimpin jalan. Luna berhenti, Aksa ikut berhenti. Begitupun kala Luna bergerak, Aksa juga bergerak. Lama kelamaan Luna persis bos maling dengan pandangan awas dan kepala celingak-celinguk mengintai keadaan begitu. Malahan rasanya seperti berbalik jadi Aksa yang akan dibawa kabur.
"Kita mesti lewat gerbang belakang. Semoga aja belum dikunci sama pak Satpam."
Aksa kira dia diabaikan; sudah tidak berharap akan dapat balasan. "Masih jauh nggak?"
Pertanyaan ini merujuk pada jendela yang membentang terbuka. Segala kegiatan di dalam terlihat jelas dari sini dan semoga saja mereka tidak terpergok. "Seingat gue rumah lo nggak segede ini dulu."
Konsentrasi Luna dalam mengintai situasi tidak terpecah, tapi ia tetap menanggapi keluhan Aksa– dengan kalimat tidak masuk akal yang membikin cowok itu mendelik. "Kayaknya orang tua gue pelaku pesugihan kandang bubrah. Rumah digedein mulu padahal penghuninya cuma empat."
"Empat?" Bukanya tiga?
"Tambah Coco."
Oke.
Gerbang kecil yang dimaksud Luna telah Aksa raih saat tanpa perhitungan, dia ditarik ke sisi lain hingga nyaris terjungkal.
Aksa sudah siap protes, namun Luna lebih dulu menyergah. "Ada sesuatu yang mesti gue lakuin. Bentar."
"Bentar" yang Luna maksud memang bukan bualan. Dalam lima menit, seluruh sumber penerangan padam total. Pekik kaget meledak sebagai pertanda urusan Luna selesai.
"Gila. Lo matiin listriknya?" Aksa tak menyangka sekaligus takjub.
"Biarin. Suruh siapa ngeselin. Cepet. Bentar lagi pak Satpam ke sini."
Demikianlah serangkaian tantangan yang Luna hadapi sebelum berakhir di sini: atap sebuah gedung terbengkalai berjarak ± 500 meter di arah belakang rumahnya. Dari sana, duapuluh lantai ini cuma kelihatan sebagai salah satu proyek gagal lainnya. Tanpa sama sekali menyangka bisa dialihfungsikan jadi "tempat pelarian" yang lumayan– jika dinilai dari seberapa berjarak dengan pemukiman.
Pandangan Luna rapat terpejam, telapak tangannya menyangga kepala, meminimalisir sentuhan langsung pada lantai. Sejak setengah jam lalu, kebenciannya terhadap malam mulai angkat kaki. Sekarang sudah kosong dan mulai ditempati tidak apa-apa.
"Lo kenapa pake baju kayak gitu sih?"
Nada geli menginterupsi pekat keheningan yang tengah Luna selami. Tatkala membuka mata, mengandalkan purnama sebagai satu-satunya penerangan, ia lirik Aksa yang duduk bersila di sebelah. Lengan kemeja cowok itu sudah dikikis sampai siku dengan jas yang dibiarkan tergeletak alakadarnya dekat kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...