Luna adalah perpaduan tak masuk akal tentang daksa bak interpretasi sebuah buku terbuka dengan sisi tak kasat rasa. Cara berpikirnya acapkali terlalu gampang ditebak, sedang di waktu lain bisa jadi terlampau jauh dari perkiraan; jalurnya samar nyaris tak bisa diduga-duga.
Kali ini contohnya. Luna tidak marah ataupun merajuk. Apalagi melarikan diri. Dia tidak pergi seperti kebanyakan adegan drama dan tetap di sana untuk benar-benar melaksanakan gagasan makan dengan tenang.
Tatkala Luna masih bisa merampas makanannya seperti biasa, Aksa tidak pernah merasa sebegitu bersyukur cuma karena tidak ditinggal makan sendirian.
Setidaknya sampai satu pengacau datang.
Bentuknya adalah suara berisik yang terdengar dari pintu kedai mula, kemudian menjadi bentuk solid seorang remaja cowok jangkung berkaki jenjang. Hal yang membuat Aksa kesal sebenarnya bukan itu, tetapi si cowok yang menghampiri dengan senyum cemerlang dan tatapan tak menyangka mengerubungi mata besarnya. Aksa sudah memberi tanda agar tak usah mendekat, tetapi tak digubris. Jadilah meja mereka dapat personil baru tanpa diundang.
Menit-menit awal hanya bersisi basa-basi dan Luna yang separuh malas memperkenalkan diri– terpaksa karena pandangan asing yang ditujukan padanya.
Katanya dia bernama Adrian, teman seperjuangan Aksa di sekolah lama. Juga salah satu orang yang menjadikan Aksa kamus berjalan. Selain informasi tidak penting itu, ada percakapan ngalor-ngidul dalam rangka mengajak bernostalgia. Luna tidak diajak, makanya dia cuma diam mendengarkan atau sesekali menjawab pendek saat dimintai tanggapan.
Sewaktu makanan telah habis lama dan Aksa yang belum menemukan celah guna membawa Luna pergi, kala itulah ia menyesal kenapa tidak memotong ucapan Adrian yang menggelontor tak terkendali.
"Eh, Lun. Lo mirip orang yang gue kenal deh. Namanya Radin. Iya kan, Sa? Lo pasti nyadar kalo si Luna nih agak mirip mantan lo itu."
Begitu menangkap suara Luna yang mendengus pendek dengan disusul derit kaki kursi, Aksa tidak bisa untuk tidak meringis.
"Gue sama Kak Radin nggak mirip."
Aksa harus bagaimana sekarang?
*
"Kayaknya sih bukan gimik."
Posisinya, Erina sedang berembuk dengan beberapa cewek di kelas. Selepas kembali dari menjemput amunisi di kantin, mereka melaksanakan rencana yang disimpan sedari tadi; bermusyawarah perkara yang sangat penting.
"Serius?" Salah satunya menyahut.
"Lima riyus," jawab Erina dengan raut yakin seratus persen. "Menurut pemantauan gue, mereka emang udah deket. Bahkan udah sering keluar bareng."
"Tau dari mana lo?"
"Seorang Erina tentunya punya banyak kaki tangan lah. Informan gue di mana-mana." Erina sesumbar, lalu menyambung.
"Menurut laporan, ada yang liat si Aksa sama si Luna lagi jajan deket alun-alun, ada yang nemu mereka di pasar malem, dan yang terbaru ..." Sengaja Erina menjeda, sok menampilkan raut misterius. "... kemarin sore mereka makan bareng."
"Wah." Salah satunya bereaksi. "Gue pikir mereka nggak bakal bertahan lama."
"Itu doang sih belom wah. Yang paling wah tuh ini." Erina bicara lagi. "Si Luna malah udah berani malak duitnya si Aksa."
Suara terkesiap adalah reaksi yang tercetus setelahnya.
"Tapitapitapi!" Seorang cewek berambut bob menginterupsi. "Gue pernah liat si Luna ngobrol sama Kak Davi di deket perpus."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...