Boleh dan tidaknya, Aksa belum mengonfirmasi. Namun tampaknya itu tidak dibutuhkan saat sekarang Luna sudah menyambar makanan miliknya. Walaupun Luna yang berbuat seenak udel adalah suatu kenormalan, Aksa masih saja belum terbiasa.
"Bukannya barusan abis makan sama temen lo?"
"Hu'um. Tapi gue masih dalam masa pertumbuhan, jadi mesti makan banyak."
"Lo kira cuma lo yang 'masih dalam masa pertumbuhan?'" Aksa menuding Luna menggunakan sendok, tidak suka statement yang dikemukakannya dalam membenarkan perilaku tersebut.
"Bukannya lo udah selesai makannya? Dari tadi sibuk sama hape," kata Luna begitu enteng hingga Aksa terperangah.
Dia mengambil jeda cukup lama untuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya, tapi bukan berarti– ah, sudahlah. Ujung-ujungnya Aksa tetap tidak mampu berkutik terutama kalau Luna memandangnya dengan mata membulat begitu.
"Lo nggak ikhlas ya, makanannya gue ambil?" Luna mengeluarkan jurus memelasnya. "Ya udah deh, kalo gitu ...."
"Nggak usah. Makan aja." Aksa mendorong kembali makanan yang Luna angsurkan kepadanya.
"Tadi katanya–"
"Makan aja, Luna. Gue udah kenyang," tukas Aksa malas.
Hanya butuh sepersekian detik sampai senyum Luna terbit seterang-terangnya. "Oke! Makasih, Aksaaa!"
Dijawab dengan anggukan. Aksa perhatikan Luna bersama gaya menyantapnya yang bisa membuat orang lain mendadak lapar. Pun bagaimana dia mengentak-entakan kaki senang, suapannya yang lahap dan senyumnya yang mengembang, semua tak luput dari pemantauan. Aksa bertanya-tanya apa memang seenak itu, sedangkan menurutnya tadi terasa biasa saja.
"Ini makanannya beneran buat gu nggak sih?"
"Iya, buat lo."
"Terus ngapain liatin gue segitunya?" Luna mengguman rendah dengan mulut penuh.
Sedangkan di seberang meja Aksa mengakui jika dia suka pemandangan ini. Dimana Luna selalu menimbun makanan di kedua pipi, membikin dia mirip tupai. Lucu sekali. Aksa terkekeh sampai satu senyum tipisnya lepas kendali. Sayang Luna tidak keburu mengetahuinya. "Pelan-pelan, Luna."
Yang sedang menikmati makanan dengan khidmat tidak mungkin mengindahkan, andai Aksa tidak menyentuh surai hitam Luna dan menyematkan sesuatu yang seketika menahan helaiannya agar tidak jatuh menghalangi mata.
Itu jepitan berbentuk kelinci yang berpenampakan seperti ini,
Luna yang terbengong-bengong bukan tidak mau mempertanyakan, tetapi Aksa sudah lebih dulu bilang,
"Tadinya itu buat seseorang. Tapi kayaknya lo lebih butuh."
"Siapa?"
"Manusia kesukaan gue."
"Siapa?"
"Tia."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...