19

404 74 6
                                    

Luna tidak punya alternatif lain untuk menikmati masa kurungan. Ya, selain bangung lebih ngaret dari biasanya. Aksa tidak ditemukan di mana-mana. Dia pergi tanpa meninggalkan jejak sama sekali, seolah tidak pernah menginvasi kamar bernuansa biru pastel ini. Termasuk di dalamnya pakaian yang dipinjamkan Luna; sudah masuk ke keranjang cucian kotor.

Itu sangat membantu. Luna yang suka kelabakan sendiri saat panik tidak perlu bersusah membersihkan tanda keberadaan Aksa.

Sejauh ini– sampai tengah hari, Luna masih bisa dikategorikan aman. Wina tidak mengedor pintu kamarnya. Cakra tidak bicara padanya. Dan tidak ada pertanyaan kenapa dia betah tepekur di balik lapisan tembok kamar, sedangkan batas yang ditetapkan adalah gerbang depan. Artinya, sel tahanan Luna seluas rumah ini.

Luna sangat ingin keluar sebetulnya, pergi ke dapur membuat makanan atau apalah, tetapi bisa dipastikan kalau Wina ada di rumah dan standing mirror di dekat pintu menyuruhnya sembunyi karena bekas kemerahan di lehernya masih bertahan.

Halaman ke 123 dari novel barunya telah Luna selesaikan tatkala pintu kamarnya diketuk. Luna meringis memikirkan nasib mujurnya yang mungkin sudah habis saat Wina meminta izin untuk masuk.

"Luna baru beres mandi, Ma. Lagi pake baju."

Luna mengutuk kebodohannya sendiri. Alasan macam apa itu?

"Ada Bibi, Nak. Bibi pengen ketemu kamu."

Apa?

Luna tidak salah dengar, kan?

"Abis pake baju cepet turun, ya. Bibi kangen kamu katanya."

"Suruh Bibi ke sini, Ma!" Luna berujar buru-buru. Antusiasmenya terpicu hingga tidak sadar suara yang dikeluarkan lebih dari rencana. Luna sangat senang mendengar kabar ini!

Setelah mendengar kata "oke" dari Wina, Luna mondar-mandir gelisah. Gugup menggelayut di setiap jengkal badannya. Sudah berapa lama Bibi meninggalkannya? Empat bulan?

Oke. Itu rentang yang masuk akal kenapa serotoninnya melonjak dan timbul detak ganjil pada jantungnya.

Begitu suara yang amat ia kenal terdengar di sisi luar pintu, Luna diserang segerombolan haru. Bahkan ketukan tangannya dapat Luna bedakan. Tiga kali, tidak terlalu keras.

"Adek, ini Bibi."

Adek.

Panggilan yang dulunya juga selalu diserukan oleh Kakak pertamanya Alesha, Radin, Mama dan Papa. Sekarang hanya Bibi yang masih setia menyapanya demikian. Mungkin karena Luna jadi anak tunggal.

"Bibi boleh masuk nggak, Dek?"

" ... Boleh, Bi. Boleh."

Untungnya Luna masih punya kewarasan untuk tidak membuka pintu lebar-lebar dan menghambur begitu saja. Kunci diputar dan sekadar memberi ruang yang cukup untuk tubuh ramping Bibi masuk. Luna cekatan menutup celah sebelum Wina mengambil kesempatan.

"Luna. Mama mau masuk juga, Nak."

"Nanti ya, Ma. Luna mau sama Bibi dulu, berdua. Boleh, kan?"

"Iya, boleh. Tapi bisa kasih Mama waktu sebentar? Mama ada yang mau–"

"Luna udah lama kangen sama Bibi, Ma. Mama tolong jangan ganggu."

Luna cemberut dengan masih memegang kenop pintu. Alisnya yang menukik hampir kembali ke posisi semula saat Wina membisikan sesuatu.

"Mama cuma mau bilang selamat ulang tahun, sayang. Maaf, Mama sempat lupa dan nggak ngucapin tepat waktu. Kalo udah kangen-kangenannya sama Bibi, nanti bilang ke Mama, Luna mau apa, ya?"

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang