Siapa di antara orang tuanya yang mencetus usul, Luna tidak tahu. Mungkin otak brilian Cakra atau boleh jadi ide spontanitas Wina. Yang jelas, disingkirkan dari sesi negosiasi berakibat Luna planga-plongo saat dalam serempak rumah dipenuhi manuasia yang mayoritas asing– baginya.
Tenang.
Semua gemerlap ini dihadirkan tidak sebagai ancang-ancang kesepakatan besar dua perusahaan. Tidak juga kisah klise tentang perjodohan berdalih mempererat tali kerjasama. Tidak. Hidup Luna bukan karangan author wattpad.
"Luna, kamu apa kabar? Udah gede ya, sekarang."
Ini yang kelima. Luna hampir kelepasan memutar bola mata, tapi tidak bisa menahan diri agar tidak berspekulasi kalau orang-orang sengaja saling copy-paste demi membuatnya kesal.
Luna penasaran apakah mereka tidak memiliki variasi yang lebih enak didengar? Menawarkan sertifikat tanah misalnya. Atau minimalnya segepok uang.
Luna tersenyum. Lebar, hangat dan sangat palsu. "Kabar Luna baik Tante. Iya dong udah gede, kan dikasih makan. Tante sendiri apa kabar?"
Bibir wanita bergincu merah menyala itu melengkung jumawa. "Tante baik. Cuma ya, gitu, Tante dibikin sibuk di luar negri gara-gara bisnis. Kamu kok keliatan nggak senang begitu? Cemberut terus dari tadi. Senyum dong. Walaupun pesta ini bukan buat kamu, setidaknya kamu mesti bahagia buat Nita."
Hidup Luna memang tidak sedramatis tokoh utama karakter fiksi, karena ternyata tempatnya adalah genre komedi. Apa yang lebih lucu dari pesta megah sebagai perayaan menang Olimpiade.
"Luna cemberut? Tante salah liat kali. Jelas-jelas gigi Luna udah kering karena kebanyakan nyengir dari tadi. Ngomong-ngomong Tan, udah lama banget lho Luna nggak liat Tante. Abis dipecat karena korupsi di perusahaan, Luna kira Tante nggak bakal berani lagi muncul ke permukaan. Ternyata selain hobi nimbun harta haram, Tante juga punya kulit muka yang tebel, ya. Woah, Luna bener-bener salut. Tante keren."
Lonjakan emosi secara signifikan yang terjadi di depan matanya tidak membuat Luna puas. Ditambah acungan dua jempol baru benar. Ketika selanjutnya dengus kasar tercetus, dia sama sekali tidak ambil pusing.
"Pantes orang tua kamu cuma ngebanggain Nita, anaknya kurang ajar kayak gini."
Malah diamini oleh Luna yang berkicau dengan nada paling menjengkelkan. "Iya, Tante. Selain kurang ajar, Luna juga suka gigit orang. Apalagi kalo orangnya rese. Biasanya suka Luna kunyah juga. Tapi kalem aja Tan, hari ini Luna belum gigit siapapun sampe gigi Luna rasanya ngilu."
Pembawaan si keponakan sukses memenuhi standar sang Tante soal tingkah paling buruk. Sangat membikin gondok, tetapi kata-kata Luna terdengar agak ngeri. Selepas memuntahkan cemooh, dia menjauh. "Dasar aneh."
Luna?
Asal terbebas dari jeratan parasit keluarga, mau disebut apapun dia tidak peduli. Semoga saja itu yang terakhir. Luna ingin–
"Aluna!"
Ayolah. Bisa tidak biarkan dia menikmati semua kudapan ini dengan tenang?
"Sibal," umpat Luna pelan, terpaksa menaruh kembali chocolate mousse yang sedikit lagi masuk ke mulutnya. Berbalik. "Kenapa lagi, Ma?"
"Kamu ngapain di sini?!" bisik Wina keras. Urat-urat pelipisnya sampai menonjol.
"Kata Mama, Luna harus turun. Jangan di kamar terus. Gimana sih?"
"Dengan celana super pendek itu?!"
Heran yang sama besarnya Luna oper balik pada Wina. Tadi dia sudah dalam posisi terbaik di atas lautan kapuk– sambil berusaha menghalau bising dengan headphones dan musik yang disetel keras-keras –tapi Wina menggedor kamarnya dan menodongkan paksaan untuk bergabung dalam ingar bingar. Katanya harus cepat. Ya sudah, Luna turun dengan celananya yang tidak lebih dari dua jengkal. Kurang patuh apa lagi dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...