1

1.2K 128 6
                                    

Di tengah hujan lebat yang coba Luna terjang bersama payung pinjaman tanpa izin, ia tahu sejak hari ini aroma petrichor telah masuk daftar segala sesuatu yang tidak disukainya.

Bicara soal kejadian beberapa saat lalu, Luna agaknya tidak peduli dengan penampilannya yang tampak mengerikan. Ia cukup bersyukur pagi tadi berinisiatif membawa payung padahal langit terlihat amat cerah seakan-akan tidak mungkin ada yang bisa menghalangi sang mentari membakar bumi.

Tak berselang sepersekian detik, darinya telah mengalun senandung kecil. Luna tak benar-benar ingin bernyanyi jujur saja, dalam kondisi yang mirip seperti kucing habis tercebur got pula. Tetapi tidak perlu diingatkan kembali kalau peristiwa mengenaskan baru menimpanya. Luna hanya berniat mengalihkan perhatian dari denyut perih di lutut yang kian terasa.

Mencebik, Luna mulai berpikir ulang kenapa ia berlari seperti orang sinting hanya karena putus cinta. Belum lagi ketimbang mencari tempat berteduh, dengan percaya diri Luna menerobos hujan. Padahal gue gampang pilek.

Mungkin kerena Luna bisa lebih tahan terhadap semilir angin yang perlahan mengikis kulit daripada pandangan mengejek murid lain.

Sial. Kenapa narasinya harus sampai ke sana? Maksudnya hey, Luna sedang berusaha memblok ingatan tentang kejadian tragis itu! Tapi nasi sudah menjadi bubur, Luna yakin kisahnya akan jadi salah satu cerita melegenda di sekolah.

Lalu seakan tak puas telah membuat Luna ditertawakan, Davi— ya, itulah nama cowok keparat yang menolaknya tadi —mengajak ia kembali bicara. Di taman sekolah yang cukup ramai selepas pelajaran terakhir usai, Luna kira akan ada permintaan maaf yang ia terima. Setidaknya untuk rasa malu yang ditimbulkan meski teknisnya ini ulah Luna sendiri. Tetap saja menurut Luna dia layak dapat permintaan maaf!

"Lain kali jangan terlalu gampang baper, ya. Jangan sampai salah ngartiin sikap orang. Mungkin sekarang gue gak papa, biasa-biasa aja. Tapi kalo di orang lain pasti illfeel."

Mau bagaimana lagi, tentu saja Davi sangat tahu kelemahan Luna yang kelewat perasa. Cowok pendek itu dengan mudahnya terpengaruhi kalimat sederhana yang bersifat manipulatif seperti ini. Luna secara tidak sadar telah tergiring untuk beranggapan bahwa Davi tidak bersalah di sini. Bahwa Davi pihak yang dirugikan. Sehingga sepanjang jalan tadi, Luna sempat menyalahkan dirinya sendiri.

Percikan kecil di antara langkah Luna sudah sampai pada jembatan tanpa pembatas, beberapa puluh meter ke depan ia sudah sampai di rumah dan tidak ada satupun yang bisa menghambatnya.

Tadinya begitu. Namun sudut mata yang penasaranan justeru melihatnya.

Di sana, di tepi jembatan ia menjumpai satu sosok dengan hoodie gelap tengah terduduk tenang, membiarkan hujan menimpanya dengan bebas.

Luna lelah. Ingin berpikir realistis dan tak mau ikut campur, namun sepertinya manusiawi apabila di saat begini mencokol prasangka buruk dalam benak.

Benar. Seharusnya Luna mengasihani diri sendiri. Jelas-jelas kondisinya lebih menyedihkan dibandingkan seseorang yang tampak putus asa dengan bahu merosot tanpa semangat. Lagi pula bukan salah Luna jika dia tergiur untuk melemparkan diri ke bawah sana.

Namun secepat pemikiran ini muncul, secepat itu pula Luna mendapatkan bantahan. Ia mungkin tidak akan disalahkan, tetapi pasti akan diseret sebagai saksi. Tck. Ingatkan Luna untuk mengacungkan jari tengah pada kamera pemantau jalan di tiang listrik itu.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang