9

516 67 7
                                    

Hampir saja Aksa dan Luna pergi ke pasar malam menggunakan pakaian yang sama seharian ini.

Luna sih tidak acuh, toh tidak akan ada yang tahu. Entitas yang ditemuinya hari ini tak akan ia jumpai lagi di waktu kemudian. Mereka hanya figuran di hidup Luna, begitu pun sebaliknya.

Akan tetapi, pemahaman ini tak sampai ke sel-sel di otak Aksa. Menurut rasional cowok itu, keputusan Luna tidak boleh dibiarkan. Beruntung dia dapat menyukseskan acara "mengganti kostum" sekalipun dihiasi rengekan Luna yang ingin cepat-cepat pergi. Patut diketahui, tidak mudah untuk sampai di titik ini. Kesabaran Aksa ekstra diuji sewaktu menghadapi Luna yang menanam diri sendiri di dekat pilar pusat perbelanjaan, sambil menyilangkan tangan di dada dengan kedua pipi menggembung marah.

"Katanya boleh! Erina bilang pasar malamnya nggak jauh dari sini, kok!"

Di luar prediksi Aksa, hal ekstrem semacam duduk melantai sanggup Luna lakukan karena tak ingin pulang. Tidakkah dia berpikir bahwa Aksa perlu menaruh barang belanjaan yang cukup banyak ini? Mereka berkendara hanya menggunakan motor! Ayolah.

"Tapi tar malah nggak diizinin pergi lagi! Mama nggak ngebolehin gue keluar sampe malem! Aksaaaaa, lo udah ngeiyain tadi!"

Sabar Aksa, sabar. Tarik napas. Mari pura-pura cuek pada banyak mata yang memperhatikan mereka. Namun, sungguh! Kenapa Luna bisa sangat keras kepala melebihi anak kecil?!

"Kak, pacarnya ngambek tuh." Seorang gadis sekitar usia empat belas menertawakan kelakuan Luna sambil lalu. Berbeda dengan Aksa, remaja ini tampak gemas dan beberapa kali menoleh hanya untuk melihat Luna melakukan aksi protes.

Lagi-lagi, Aksa dibuat tercengang oleh tingkah Luna yang merespons perhatian remaja tadi dengan memberikan finger heart, serta wajah cemberut sok imut.

Ya ampun.

"Aksaaaaa."

Karena situasi mulai tidak kondusif, terpaksa Aksa merogoh kocek kembali selagi menyeret Luna ke salah satu toko pakaian.

Dan di sinilah Aksa sekarang; menunggu Luna menyelesaikan kegembiraan yang tak sempat mewarnai masa kecilnya di atas komidi putar.

Mulanya Aksa melarang. Saat itulah Luna melancarkan cerita sedih soal dirinya yang terkekang, imbas dari kematian kakak pertamanya yang ironis harus disusul Radin.

Aksa bisa jadi bersikap tegas, tetapi kabar baiknya, dia memilih mengalah walau setengah hati. Sekarang lima belas menit setelahnya, Aksa justeru tidak keberatan sama sekali. Karena berkat keputusan ini, akhirnya dia mengerti kenapa pernah melihat Luna sengaja hujan-hujanan. Kenapa Luna bermain di antara kubangan lumpur. Kenapa Luna lebih suka merengek dalam menghadapi masalah. Kenapa Luna hobi mencuri-curi waktu selepas pulang sekolah. Kenapa Luna sama sekali tidak dewasa.

"Hai, Aksa! Hehehe." Seruan terdengar dengan disusul lambaian rusuh. Luna boleh saja hobi mengumbar senyum, tetapi tidak semua berisi kebahagiaan. Katakanlah Aksa cukup beruntung karena bisa melihatnya malam ini.

Bersama sedikit tawanya, Luna berderap ke hadapan Aksa. Senyum lebarnya masih tersisa tatkala ia memperbaiki posisi bando di atas kepala cowok itu. Luna sentuh telinga kelincinya yang menjuntai sampai ke pundak. "Iiiih! Lo lucu banget deh!"

Tidak tahu saja kalau di mata Aksa, dirinya lebih lucu dengan bando telinga rubah yang mencuat ke atas.

"Udah?"

"Hum!" balas Luna dengan semangat yang belum surut.

"Pulang sekarang?" Aksa menggenggam tangan Luna yang sudah seperti keharusan baginya sejak masuk ke area pasar malam. Katanya, takut Luna hilang dan terinjak-injak massa.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang