5

775 76 5
                                    

Katanya, nama adalah bentuk paling ringkas dari serangkai doa sepasang manusia untuk anak mereka; buah hati yang mengemban banyak harapan di balik gelar yang dianugerahkan. Begitu pun Cakra dan Wina.

Orang tuanya bilang, Luna lahir di tengah malam yang puitis- merujuk pada bias cahaya bulan di jendela bertirai tipis- cerah, tetapi membangun suasana melankolis.

Secara bahasa, Aluna dapat menginterpretasikan dengan baik. Dia memiliki suara yang merdu, cukup untuk menjadi juara nyanyi tingkat kelurahan.

Salah kaprahnya cuma di kepribadian Luna yang hangat, ceria, benci malam, dan kegelapan, tidak sama sekali menjunjung histori kelahirannya yang dramatis- gampang kedinginan serta memiliki imun yang rentan terhadap suhu rendah adalah bonus.

Luna juga mudah masuk angin dan terserang pilek. Maka jangan salahkan ia jika mengeluh mual ulah Aksa yang sepanjang jalan mengendarai motor dengan gaya dikejar setan. Ditambah serangan angin di rooftop sebelumnya, Luna sudah tak dapat mentolelir.

"Di sini gak jual kayak beginian, ya, tapi gara-gara lo gue mesti ngeracik sendiri. Sialan banget emang."

Itu kata-kata mutiara pengantar segelas besar wedang jahe yang jatuh ke hadapan Luna dengan entakan cukup keras. Meringis tidak enak. "Ya maaf. Lo tau sendiri gue musuhan banget sama angin. Lagian ini kafe punya bokap lo, kan? Gak apa-apa lah kalo lo bikin kekacauan dikit. Buat temen ini."

"Lain kali mending gak usah datang tepat waktu daripada akhirnya malah nyusahin orang kayak gini."

Perkenalkan, si pemilik lidah tajam ini bernama Intan. Pasal penamaan, Luna berani bertaruh dengan setengah uang jajan bulanan yang masih menyatu dengan uang lain di dalam rekening Mamanya, kalau Intan mengalami kasus yang serupa. Mulut cewek itu tidak menggambarkan namanya sama sekali.

Intan si muka judes duluan tujuh bulan minum asi ketimbang Luna, tapi kelihatan lebih tua dari itu akibat makeup tebalnya. Bukan berarti buruk, Intan justeru tampak dewasa dan berkarisma.

"Lagian biasanya juga lo ngaret. Sama aja kayak si Erina. Malahan hape tu anak sekarang gak aktif."

"Gue, kan nggak mau lo marah-marah terus," elak Luna, selagi berupaya menciptakan raut menyedihkan semaksimal mungkin. Jujur saja, melihat wajah Intan menunjukkan tidak terima yang amat besar- lebih besar dari sikap besar kepalanya sendiri -adalah hal yang membuat matanya iritasi. "Jangan salahin gue doang dong. Noh. Salahin juga orang itu," tuding Luna pada Aksa yang baru bergabung. Jika kalian bertanya, dia baru selesai mengurusi motornya di parkiran.

Mengikuti arahan Luna, Intan menjumpai seonggok manusia berkulit pucat yang melihatnya selirik. Mata itu tajam dan terkesan dingin, terlihat macam orang yang susah disentuh. Jangan lupakan muka yang lempengnya ngalah-ngalahin papan triplek. Bolehkah Intan bertanya,

"Dia siapa?" Kok ganteng banget? Seumur hidup baru kali ini Intan lihat manusia yang modelannya sebagus ini. Ia pikir hanya dapat dijumpai dalam khayalan pengarang novel romasa.

Baiklah. Artinya perkenalan jadi sesuatu yang penting dan Intan harus memberikan kesan terbaik. Sebagai permulaan ia berdeham dan tatkala berhasil menarik perhatian, langsung saja dikibasnya rambut sampai jatuh ke satu sisi pundak. Intan tatap serius orang di seberang. Untuk sentuhan terakhir, serahkan pada perpaduan senyum semanis gulali dan wajah cantik bak bidadari, dijamin si target akan klepek-klepek setelah ini. "Hai. Kenalin gue Intan Permata, temennya Luna."

Begitu Intan menyodorkan tangan dengan gaya sok anggun luar biasa, lalu menambahi dengan kerlingan genit, Luna nyaris muntah melihatnya.

Aksa yang jadi tujuan segala perilaku nyeleneh Intan agaknya dibuat terkesiap. Padahal dia sempat berharap Intan lebih baik dari Luna. Apa boleh buat, mereka sepermainan.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang