Epilog

944 80 15
                                    

"Udah belum?"

Memenuhi pertanyaan ini, Luna menoleh. Dapat dilihat Intan berdiri di samping kulkas, sekeranjang kecil selada berada dalam tentengannya.

"Udah." jawab Luna, memperlihatkan beras yang baru saja ia cuci.

Mereka saling tatap. Lengang berjalan dalam rentang dua menit, habis hanya untuk berkedip-kedip.

"Ini digimanain?" Luna berhenti menunggu Intan inisiatif memberi instruksi.

Sedangkan Intan heran kenapa Luna bertanya padanya. "Lha? Gue malah nungguin lo mau ngapain setelah ini."

Napas pendek Luna hela, telah sadar sesuatu. "Jadi ini sebenernya kita sama-sama nggak tau berasnya mesti diapain?"

Intan mengangguk polos. "Tadi si Hesa bilangnya gimana?"

"Dia cuma nyuruh nyuci beras."

Kepalanya Intan guncang sambil berdecak. Menaruh kembali barang bawaan ke meja. "Tar gue cari dulu tutorialnya di yutup."

Pandangan cewek itu terpaku di benda 6,6 inci miliknya sekalian meneruskan informasi yang diterima pada Luna. "Katanya ininya dimasukin ke ke situ."

Luna menurut, konsentrasi pada tangan Intan yang menunjuk-nunjuk. "Trus?"

"Bentar-bentar. Oh, trus itunya tuh, dipencet."

Sekarang Luna bingung. "Apanya yang dipencet?"

"Itu, kan di atasnya ada tombol. Pilih mode nasi putih, trus masak cepat aja kata si kakak di pidionya. Abis itu pencet start." Intan berkata masih sambil memantengi layar.

Luna celingak-celinguk. "Nggak ada tombolnya, In."

"Ada di situ, Luuuun," kata Intan greget.

"Nggak ada, ih!" Luna ikut-ikutan greget. Memang tidak ada tombolnya kok.

"Bego banget sih lo. Masa gitu aja–"Kejengkelan yang Intan bawa mendekat mendadak lesap, kicep.

"Jadi gimana?" tuntut Luna kesal.

"Bentar." Intan tepekur lagi di depan ponsel. Luna bergabung menonton tata cara menanak nasi yang baik dan benar itu, lantas menepuk dahi. Pantas saja, rice cooker yang mereka pakai masih model lama. Saat Intan cuma mencengir atas kebodohannya, Luna kepingin nangis kencang saja rasanya.

"Hehe. Tombolnya tinggal diturunin ke mode cook katanya, Lun."

Mata Luna yang berotasi tak sengaja tersangkut pada cincin yang melingkar di jari manis Intan, senyum cerah terbit membersihkan raut dongkol di wajahnya. "Pinter juga si Rendi milih cincin."

Intan bisa langsung terkoneksi dengan perubahan topik yang terjadi, turut memperhatikan tempat pendaratan fokus Luna. "Dibantu Ibu sama Sashi. Si Rendi mana tau hal beginian."

Nada sebal Intan tak sama sekali menyamarkan bahagia yang tercantel di senyumnya. Sorot cewek itu menerawang, kembali ke beberapa bulan lepas saat Rendi meminangnya sebagai Istri.

Kisah cinta mereka yang sempat membuat Luna rewel akhirnya berlabuh di dermaga pernikahan. Usai bertahun-tahun terlewati, di pembukaan usianya yang ke duapuluh enam, Intan diresmikan oleh Aryasana Rendi sebagai kepunyaannya seorang.

Luna tidak mengira, atau lebih tepatnya sudah menyerah jadi pendukung nomor satu Rendi-Intan. Karena selain bersikeras tidak mau berpacaran, mereka juga pernah berkali-kali menjalin hubungan dengan orang lain. Luna sampai terpelongo waktu Intan menemuinya dengan membawa tanggal pernikahan. Ia merasa dikhianati tapi saat mengajukan protes, Rendi sekadar tertawa dan bilang,

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang