16

451 74 4
                                    

Luna akan meneriaki Aksa gila, tapi nanti. Pilihan terbaik untuk saat ini adalah bersembunyi di balik punggung cowok itu.

"Widih. Siapa tuh Sa?"

"Bening bener kayak marmer mesjid."

"Buat kita, ya?"

"Udah siap banget kayaknya."

Kejutan yang terlalu dini untuk ulang tahunnya. Luna kira adanya bagian yang terpakai di gedung ini sudah cukup membuat rahangnya jatuh membentur lantai, ternyata jantungnya masih jumpalitan saat kini Aksa menyodorkannya ke hadapan sekelompok preman. Atau mungkin anak jalanan? Terserah apa sebutannya yang jelas Luna takut! Lututnya bahkan serasa lemas seperti jeli!

"Nggak. Dia punya gue." Dengan ini, Aksa menggiring Luna dan setengah tubuhnya yang tenggelam di balik jas menuju satu arah.

Pintu usang yang mereka masuki memperlihatkan Luna satu ruangan yang cenderung gelap. Matanya hinggap di sekeliling, meneliti semua yang termuat di dalam sana. Tidak banyak yang bisa disebutkan sebetulnya. Hanya sofa panjang, satu meja, kursi rotan dan jendela dengan gorden lusuh yang melambai-lambai tertiup angin. Oh, ada satu gitar teronggok di sudut. Sisanya mungkin tersamarkan akibat pencahayaan yang terbatas.

"Di sini nggak ada listrik, nggak papa, kan?" Usai menyingkirkan kain yang menghalangi jendela, Aksa bicara. Dari balik punggungnya membias sinar rembulan, tak sengaja menyajikan pemandangan yang cukup dramatis.

Luna mengangguk sederhana, tidak ingin fokusnya dalam memperhatikan kemanapun Aksa berderap terdistraksi. "Gue kira zaman sekarang udah nggak ada yang kayak begituan."

Aksa tak segera membalas, menaruh lampu minyak yang baru saja dinyalakan ke atas meja. Cahaya kuningnya menyebar tak seberapa, tetapi cukup untuk membentuk siluet di tembok bercat putih gading. "Gue juga ngira gitu. Sebelum Ilham boyong ini dari kampung sebagai satu-satunya peninggalan neneknya. Selain sawah sama tanah lima hektar. Lo mau terus pake baju itu?"

Pertanyaan Aksa membuat Luna menyadari satu hal. Mengerjap, mulai menyesal sudah memakai baju itu.

Aksa langsung paham arti dari bibir manyun Luna. "Seingat gue ada baju yang ketinggalan di sini. Bentar gue cari dulu."

Luna diam memperhatikan Aksa menggapai ransel yang terkait di balik pintu dan mengaduk-aduk isinya.

"Gue nggak yakin ini bakal cocok di lo, tapi lumayan lah daripada tidur pake baju itu."

Aksa lalu berpamitan dengan alasan ingin menyapa teman-temannya yang masih membuat Luna merinding tiap ingat seperti apa penampakan mereka. Sepuluh menit terbuang saat Aksa kembali dengan menenteng kresek hitam.

"Kenapa celananya nggak dipake?"

Lamunan Luna buyar ulah suara berirama heran tersebut. Ketika menoleh, sekelumit kaget sedang mendorong alis Aksa hingga menyempit. "Kegedean."

"Tapi baju lo cukup di gue waktu itu?" Yang Aksa maksudkan adalah saat pertama mereka bertemu.

"Itu bajunya kak Radin."

"Lho? Masih disimpen?"

Luna mengangguk sekilas, menipiskan bibir, meraih sebatang cokelat dari segenap makanan yang Aksa bawa untuk selanjutnya dikunyah dengan santai. Tidak peduli pada izin atau semacamnya. "Semua yang menyimpan kenangan kak Radin masih sama, satupun nggak berubah. Termasuk kamar dan seisinya. Mama tetap mempertahankannya biar bisa dia tangisin sampe subuh. Abis itu nggak sempet bangun pagi dan bikinin gue sarapan."

Jujur saja, itu terdengar miris di telinga Aksa. Sedangkan bagi Luna tampak begitu remeh, hingga bercerita dengan suara yang bersih dari emosi. Malah sempat-sempatnya komplain soal rasa pahit pada cokelat. Barulah ia menambahi.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang