Aksa melempar tubuhnya ke trotoar di pertigaan, lalu merebahkan punggung pada tumpukan batu bata merah milik tembok pembatas salah satu rumah.
Aksa duduk melipat kaki sampai mendekati perut, menunduk. Biarpun tahu persis jika hujan telah berhasil menembus tudung hoodie-nya, tak sekalipun keingingan untuk pulang hadir dalam benak– meski terdampar di sini juga bukan rencananya.
Apa boleh buat, keinginan untuk menyendiri tidak akan terlaksana dengan mudah walau Aksa sudah berharap banyak pada hujan. Karena nyatanya, cuaca seburuk apapun masih belum bisa mengalahkan rasa penasaran seorang manusia.
Malah tanpa diminta, kedip rapat dari mata sesosok kecil menjadi memori baru di kepalanya. Juga wajah polos seolah tanpa dosa. Menjengkelkan saat teringat, namun tak urung sudut bibirnya nyaris terangkat.
Ya, nyaris.
"Tck. Apa gak ada hal lain yang dia pikirin selain uang?"
Aksa jadi merasa begitu berutang pada orang tuanya sekarang.
*
"Hei?"
Ya Tuhan. Semoga bukan. Setelah apapun tentangnya yang sempat terpikirkan, Aksa tidak pernah berharap dipertemukan kembali. Sama sekali tidak. Membayangkannya saja dia sudah lelah duluan.
Maka ketika guncangan pelan di pundaknya makin terasa, Aksa ingin menertawakan betapa tak beruntungnya ia.
"Hei? Lo cowok yang tadi, kan?"
Oh. Suara itu terdengar seperti bencana besar baginya.
"Hei."
Setengah hati Aksa mengangkat wajah, mencari sedikit celah demi melihat cengiran sok akrab yang terkesan ... dipaksakan. Reaksi Aksa terpicu untuk pertama kali, meski hanya berupa satu desah lelah. Kenapa harus mulut cerewet itu lagi?
Bersama lima jari ramping yang terpampang di sisi wajah, Luna melambai kaku. "Hai. Kita ketemu ... lagi?"
Dia terlalu memaksakan diri, kalau boleh Aksa bilang. Seharusnya tidak perlu sejauh ini hanya untuk jadi orang baik. Dan apa-apaan wajah jeleknya yang mendadak merengut begitu? Kenapa pula dia berkacak pinggang sok galak? Aneh sekali, bikin Aksa ngeri saja.
"Bukannya gue udah suruh lo balik, ya? Kok malah duduk di situ kayak gelandangan?" Mulainya pakai nada mengomel. Sejenak Luna berhenti tetapi tentu tak akan bertahan lama. "Jangan bilang lo beneran gelandangan?"
Aksa memandang malas. Ia tak ingin terlibat dengan orang di depannya dan mau sekali beranjak pergi, kalau bisa. Namun Aksa kelewat capek untuk melakukanya, sedang menghadapi Luna juga bukan perihal mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...