24

447 69 4
                                    

Wina menunduk lesu, kelopak matanya bengkak dan sedikit kendor.

"Tolong bantu Tante," ucapnya berirama keputusasaan.

Solusi yang dapat Wina buat di kondisi semrawut ini adalah dengan melibatkan semua teman Luna. Tatkala berjam-jam belum jua memperoleh perkembangan, berat hati Wina kesampingkan gengsi untuk kemudian mengemis simpati kepada seseorang yang namanya masih ia serukan sepenuh benci beberapa saat lalu.

"Tante nggak punya petunjuk sama sekali?"

Wina termangu cukup lama. Pertanyaan semacam ini harusnya dapat dijawab dengan cepat. Ia aktif memantau Luna selama hampir setara umur Luna sendiri. Selagi di sekolah, Kepala Sekolah secara berkala memperbarui laporan kegiatannya. Jika di luar, kaki tangan Cakra mengawasi, meski hanya ketika ia menganggap ada kejanggalan dari gelagat Luna.

Ironisnya, setelah semua itu Wina tidak dapat menemukan secercah keterangan soal Luna.

Siapa sangka ia tidak mengenal Luna sebagaimana seorang ibu terhadap anak mereka. Rupanya ia dan Luna tak lebih dari dua orang yang berbagi ruang hidup; kerap menyelami tatap masing-masing tapi nihil pertalian rasa. Sehingga ketika Luna beranjak tanpa memberi jejak, Wina bingung harus mencari bungsunya ke mana.

Kala gelengan kembali diberikan, Aksa mengembus napas. Sesuai dugaan namun tetap membuat tak habis pikir.

"Tolong," ulang Wina memohon. Kemelut dalam dirinya mulai tercermin jelas. "Tante nggak bisa kehilangan lagi."

Siapapun akan iba dengan kondisi Wina yang tampak menyedihkan. Aksa pun begitu– kalau saja ia tidak tahu keputusan kejam macam apa yang mampu wanita ini ambil di waktu-waktu kebelakang.

"Tante mohon sama kamu, tolong kembalikan Luna. Tante mesti bawa dia pulang."

Aksa bergeming, memperhatikan gerak-gerik Wina yang perlahan berubah kalut.

"Di luar sana nggak aman buat Luna. Tolong temuin Luna ya, Aksa, ya? Hm? Kenapa kamu diam aja? Kamu nggak mau nolong Tante?"

Mulut Aksa masih terkunci rapat. Udara dingin sejenak menyapa, sekadar untuk menitipkan bau hujan yang dibawa.

Wina mencengkram puncak kepala, raut wajahnya berubah sedemikian rupa bak memiliki dua sisi yang saling berebut mengambil alih. "Kamu beneran nggak bisa bantu Tante?" Dia tertawa sarkas sekarang. "Apa kamu nggak merasa bersalah sama sekali, hah?"

"Buat apa?"

"Kamu yang menyebabkan semua ini!"

Dahi Aksa berlipat mendengar Wina menaikan volume suara. Lebih-lebih ketika dia tak mengerti motif Wina menuduhnya.

"Luna seperti ini karena pengaruh dari kamu! Anak itu makin membangkang gara-gara kamu! Seharusnya sedari awal saya nggak biarkan kamu masuk ke hidupnya!"

Yang benar saja.

"Tante masih nggak sadar kalau semua ini akibat ulah Tante sendiri?" Aksa terpantik kesalnya. Dia benar-benar dibuat terperangah oleh Wina. Ketika lawan bicaranya siap membantah, cepat-cepat Aksa melanjutkan. "Tante nggak usah menyangkal. Saya tau selama ini Tante mengabaikan betapa tertekan dan muaknya Luna dengan berdalih kalau semua yang Tante lakukan adalah perlindungan."

Wina bernapas pendek-pendek, mengerjap seolah sesuatu mengganggu pandangannya. Beberapa sekon terlewati, manik cokelat tua itu meredup. Ketika Aksa mengatakan jika sikap Luna merupakan manifestasi dari perlakuannya selama ini, Wina tertohok, kepayahan menelan saliva. "Tante cuma ... Tante cuma nggak mau Luna mengulang apa yang pernah Tante alami dulu."

Suara Wina mengalami perpindahan warna untuk kesekian kali. Nuansa sedih yang ia bawa menghadap Aksa sebelumnya dihadirkan kembali. "Tante orang yang gagal di masa muda, Aksa. Dulu Tante membuang banyak waktu buat hal-hal nggak berguna. Tante melewatkan banyak peristiwa penting bahkan mangkir di perayaan ulang tahun Ayah dengan berbagai macam alasan. Saat itu bagi Tante semuanya nggak menarik kecuali seru-seruan sama temen. Lalu ketika Tante sadar kalo semua itu nggak ada artinya, Tante terlambat.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang