Prasangka buruk Aksa meliar hanya dengan tiga hari tidak menemukan Luna di sekolah. Ia nyaris nekat menerobos gerbang bekalang demi melihat Luna, namun kunci yang didapat dari pak Satpam dikembalikan akhirnya. Aksa urung tepat setelah gembok terbuka– baru terpikir jika tetap lanjut, barangkali Luna akan semakin tidak suka padanya.
Kemudian Aksa bisa bernapas lega di hari ke empat kala mobil sedan hitam mengkilat yang biasa mengantar Luna meluncur masuk lewat gerbang dan presensi mungil turun dengan ransel biru dongker. Keyring rubah pemberiannya yang masih tercantol di sana menjadi alasan senyum Aksa terbit hari itu.
Akan tetapi usahanya untuk mendekat tidak bisa berjalan dengan mudah, karena hadir Erina yang menyamar jadi prangko dan selalu menempeli Luna. Dia akan otomatis defensif begitu melihat kemunculan Aksa yang bahkan masih di ujung koridor. Muka galaknya menyiratkan ancaman, "Berani deketin dia, siap-siap leher lo patah!".
Seluruh akses Aksa ditutup oleh Erina hingga sedikitpun tak ada kesempatan. Aksa mahfum tindakannya, cewek itu ingin melindungi sang sahabat. Namun di sisi lain, Aksa sangat butuh bercakap dengan Luna. Ketiadaan Luna dari sekitar membuat dia tidak minat pada banyak hal, termasuk kuis dadakan yang jadi favoritnya. Bahkan Aksa sampai diusir dari satu mata pelajaran karena gagal mempertahankan fokus.
Bisa dikatakan, kadaan Aksa sudah seperti cangkang kehilangan jiwa. Pun Antara di mana dan harus apa kadang dia tidak tahu. Lantas bila sudah separah itu yang Aksa lakukan cuma menarik diri, tidak berinteraksi sebab suara dan obrolan jadi sangat mengganggu. Tetapi ketika hanya ada dirinya dan pikirannya, Aksa terus menyesal betapa terlambat untuk sadar jika pengaruh Luna di hidupnya teramat besar.
Lalu satu waktu pada jam istirahat pertama, Luna menghampirinya di rooftop. Saking tidak percaya kalau eksistensi di hadapan bukan bagian dari angan-angan, Aksa sampai tidak tahu harus bersyukur atau jangan.
Sekian detik, dunia terasa seperti latar drama. Angin menyapu rambut Luna yang tidak tahu sejak kapan telah dicat dark brown. Helai berantakan membingkai wajahnya dengan manis.
Mereka memang berhadap-hadapan, namun Luna pertahakan ruang kosong sejauh lima meter. Sementara Aksa berselonjor dengan satu kaki terlipat sebagai tumpuan tangan, Luna berdiri dengan mata yang redup oleh segelintir emosi sendu.
Biasanya Lunalah yang selalu memangkas jarak.
Biasanya Lunalah yang memulai aksi.
Biasanya Lunalah yang menginisasi.
Hari ini Aksalah yang berderap pasti menjemput Luna. Tanpa segan dia merengkuh dan menyampaiakan segala rindu pada raga yang senantiasa membatu. Luna tak mendorongnya menjauh, tidak pula membalas.
"Gimana kabar lo?" Aksa makin mendekap Luna erat, tak ingin lengah meski sejenak. Untuk sesaat dia menghidu aroma khas tubuh Luna– yang rupanya berhasil tenangkan kecamuk badai dalam dadanya. "Gue harap baik-baik aja."
Masih nihil tindakan dari Luna. Pilihan untuk tidak responsif itu membuat Aksa waswas menghitung masa. Bel masuk belum berkumandang, namun Aksa gusar karena menit-menit lewat di depannya begitu saja. Kemudian ragu berhasil menyelinap di tengah-tengah, membuat Aksa melebarkan jarak dan merasa canggung, juga sedih dengan keadaan mereka sekarang. Tetapi apapun itu, dia tidak akan pikir dua kali untuk tersenyum pada Luna. Walau lagi-lagi, keterdiaman orang di hadapan melukainya.
Kira-kira sebanyak apa kebencian yang sanggup merubah Luna sebegini pesat?
"Katanya lo suka warna coklat susu?"
Sebut saja mencoba peruntungan, Aksa mengangkat topik ini karena ingat jika Luna pernah sangat antusias membahas toleransi sekolah terhadap rambut yang diwarnai– sepanjang tidak terlalu mencolok.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...