Masa tahanan Luna selesai tepat di hari pertandingan basket berlangsung. Ia kembali menghirup udara luar dengan status bebas bersyarat. Dalam kasus ini, terdapat sejumlah peraturan baru yang diberlakukan pada Luna. Tak luput di antaranya adalah yang paling ia takuti, yakni diantar-jemput oleh sopir. Belum selesai di sana, Luna juga mesti pulang tepat waktu dan memberi kabar sekurang-kurangnya dua jam sebelum berkegiatan di luar jadwal. Saat mengajukan komplain, katanya baik Wina maupun Cakra butuh waktu untuk mengambil putusan. Pun sebelum itu Luna mesti transparan soal jenis kegiatan, penting atau tidaknya, siapa saja anggotanya, lokasi, dan lain sebagainya.
Yeah, kebebasan yang lebih mengikat.
Luna akan menggalaui itu nanti, sekarang ia mesti bergegas. Suporter dari dua sekolah sudah berduyun-duyun datang. Perorangan maupun kelompok, semua tampak berseri dan enerjik.
Merasakan tiap elemen yang berpadu membentuk suasana meriah, Luna mengembangkan paru-paru. Ia tidak boleh mengacau dengan menghadirkan awan mendung.
Luna lihat segerombolan cewek yang obrolannya mampu didengar dari jarak cukup jauh. Mereka baru saja melatih yel-yel yang akan disorakan dan menutupnya dengan gelegar tawa.
Pandangan Luna berlalu, mengayun kesana-kemari mencari sosok Intan dan Rendi. Oh, Luna belum bilang tim lawan berasal dari sekolah temannya itu?
Melirik arloji, Luna gegas bergabung dengan orang-orang yang berjalan mengular menuju lapangan basket indoor di bagian selatan dekat gedung tunggal perpustakaan.
Luna memilih berdiam di lokasi paling strategis. Dalam sekejap seluruh kursi penuh, sorakan gegap gempita meledak. Luna yang fokus menghubungi Erina via pesan pun terlonjak saat jeritan demi jeritan saling sahut. Satu-dua dari mereka bahkan tidak segan menerikan nama sang jagoan. Telinga Luna pengang. Kalau tahu akan berdekatan dengan para cewek, mending ia duduk di tribun paling atas– mayoritas diisi murid yang hanya ingin menikmati pertandingan.
"AAAAAAAA!!"
Kan, mereka teriak lagi.
Kenapa sih?!
Oh, ternyata kedua tim telah berada di tengah lapangan, siap memulai pertandingan. Pantas saja kaum hawa jadi tidak keruan seperti cacing kepanasan.
Perhatian Luna kontan jatuh pada Aksa. Tubuh tinggi-tegap cowok itu sangat serasi dengan jersey yang dipakai. Begitupun rambutnya yang tidak tahu kapan dicat cokelat. Luna jadi sedikiiiit menyesal begitu ingat ini adalah kali pertama ia menonton permainan Aksa.
Sejujurnya Luna hanya terpengaruh alur dari cerita yang ia baca. Tentang seorang pemain basket yang suka tebar pesona di lapangan– ya, seperti itulah pokoknya. Namun ternyata Aksa berbeda, dia bermain serius. Gerakannya gesit, tangkas dalam berkelit dan hampir selalu mencetak poin. Aksa bukan kapten, tetapi ia yang paling menyedot atensi. Begitu menyugar rambut, pekik langsung menyambut.
Luna mendapat kabar kalau Erina tidak akan datang. Si cewek bangun terlambat dan telanjur malas bergerak. Mereka berbalas pesan beberapa lama dengan backsound kebisingan, hingga sorak sorai menyatu dan pecah di udara, barulah Luna mengangkat kepala. Pertandingan selesai dan tim Aksa dinobatkan sebagai pemenang.
Sebetulnya berapa lama ia sibuk sendiri?
*
"Lo mau sampe kapan di situ?"
Ditembak suara jengah, Luna justeru senyum lima jari. "Kan mau kasih selamat sama pacar. Hehehe. Selamat ya, gantengnya gue."
Mendengar panggilan Luna yang tidak biasa, Aksa merinding hebat. "Mending panggil gue anak babi deh daripada gitu, nyeremin sumpah. Dan lo udah bilang selamat ke gue lima kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...