18

436 74 15
                                    

Perjalanan itu separuh terseok-seok dan separuhnya lagi berisi campuran rasa yang semakin solid. Aksa meneguk ludah, sadar jika tujuannya sudah di depan mata.

Hawa sejuk di sekitar tidak sama sekali membuatnya tenang, justeru seolah-olah berkerja sama untuk memberatkan derap kakinya. Aksa menggosok lengan, berharap dapat mengenyahkan gugup yang menyerbu seperti sekoloni semut pada gula.

Berbagai bentuk kalimat pertama yang sudah ia rangkai sedemikian rupa perlahan pudar dari kepala, berbanding terbalik dengan gemuruh dalam dadanya yang semakin hebat. Aksa baru merasakan kembali stimulasi semacam ini setelah bertahun-tahun lamanya.

Lantas terkekeh begitu sampai, Aksa nampaknya memang harus bicara secara impulsif. Lagipula dia memang tidak pandai menyusun narasi dan merencanakan kata-kata.

"Hai," mulainya. Seakan kedatangannya telah dinanti, embus angin menyapu wajah bagai satu sambutan. "Maaf aku baru bisa nengokin kamu."

Aksa pernah menyangkal situasi ini. Dia tidak ingin percaya. Terlalu mendadak; dalam satu malam semua jungkir balik.

Namun setelah berkeras hati selama beberapa waktu, dia tetap tidak bisa mencegah gelombang kesedihan menggerusnya sampai tenggelam ke dasar. Kala mengeja nama yang terukir pada nisan, Aksa akui dirinya kalah telak. Oleh kenyataan. Oleh rindu yang menghujam.

Ananda Radin Pradipta

"Kamu apa kabar? Aku harap baik." Karena di atas sini, Aksa bisa dikatakan baik. Bahkan setelah melakukan hal yang mungkin akan sangat dibenci jiwa pemilik pusara. Tersenyum getir.

"Aku udah ketemu Luna. Dia persis kayak yang kamu bilang, termasuk rasa bencinya. Dia bener-bener nggak suka sama kamu."

Tanpaknya mengangkat topik Luna untuk pertemuan perdana mereka tidak terlalu buruk. Aksa mendapatkan usapan lainnya dari pawana. "Tapi kamu tenang aja, karena dia punya Nita sebagai pengganti kamu. Luna bahkan lebih antipati sama Nita ketimbang kamu."

Menarik napas panjang untuk kesekian kali. "Aku salut sekaligus kasihan sama Luna. Setelah kepergian kamu, dia malah makin kehilangan kasih sayang dari orang tua kalian. Hebatnya dia bisa bertahan seolah itu bukan apa-apa. Meski kalo kesempatan dan suasana mendukung, dia bakal nangis sejadinya sampe sesak napas.

Kamu tau, kamu salah waktu bilang dia mungkin bahagia kalo kamu udah nggak jadi si 'anak kesayangan'. Justeru karena kamu nggak ada, mau nggak mau dia menggantikan posisi kamu sebagai tempat bergantungnya segala harapan dan ekspektasi. Tapi untuk Luna yang punya sisi pemberontak lebih besar dari kamu, kamu benar. Dia selalu mau bebas. Dia berani membantah Om sama Tante. Beda dari kamu yang selalu manut sama mereka.

Bahkan tadi malem dia langsung iyain ajakan aku buat pergi. Padahal jelas-jelas dia diatur sebegitu ketatnya, tapi tetep ngintil meski aku bawa dia ke tempat kotor. Oh, aku juga habis dipukulin sama Om Cakra. Apa lagi kalo bukan karena culik anak bungsunya." Tawa berisi sendu menguar pelan dari bilah bibirnya.

"Papa kamu itu Taekwondoin, ya? Pukulan dia bikin sakit semua. Penasaran juga sih sepatunya terbuat dari apa, keras banget rasanya pas nendang perut. Sampe aku mual."

Aksa mendongak, memperhatikan awan hitam berarak cepat guna memayunginya dengan rasa cemas akan hujan yang bisa turun sewaktu-waktu. Ia tidak membawa payung, yang artinya segala urusan harus segera diselesaikan.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang