12

425 61 11
                                    

Aksa terkesiap saat menemukan fakta bahwa bahagia Luna telah menjadi bagian dari bahagianya juga. Pada waktu yang bahkan ia tidak tahu kapan, gemerincing tawa Luna menyelinap ke antara celah hati untuk selanjutnya menempati bagian yang penting.

Kini Aksa tahu alasan kenapa perasaanya menghangat hanya karena melihat Luna dan segala tingkah polahnya. Atau si mungil yang bergelut dengan kanvas dan cat lukis. Sudut-sudut bibir Aksa tertarik geli atas Luna yang tidak menyadari olesan-olesan kecil yang menodai pipi serupa pualamnya.

"Bagus."

Pujian yang dilayangkan Aksa menarik fokus Luna, seutas senyum cerah didapatkannya segera. Pula nada bahagia yang meletup dalam kalimat, "Makasih. Hehe."

Aksa ambil tempat di samping Luna, obdisiannya menelusuri hasil karya sentuhan halus sang kekasih; ladang bunga matahari yang tampak hangat. Berangkat dengan pengamatan ini, ia bertanya, "Lo suka bunga matahari?"

"Nggak."

Lha.

"Trus kenapa lukis bunga matahari?"

"Mau aja. Emang nggak boleh?"

"Boleh. Tapi bisanya orang ngelukis sesuatu yang dia suka ... kan?" Aksa kurang yakin, namun begitulah menurut pemikirannya.

"Tapi gue lagi mau lukis sesuatu yang nggak gue suka."

Aksa nyaris mendengus. Dia lupa kalau Luna tetaplah Luna. Seseorang dengan tabiat tengil yang mendarah daging. Sehubungan dengan mood-nya yang sedang sangat baik hari ini, maka dia tersenyum simpul. "Yaudah terserah lo aja."

"Nggak penasaran kenapa gue nggak suka bunga matahari?"

"Nggak."

Luna terkekeh samar. "Gue nggak suka bunga matahari karena mereka punya sifat heliotropis." Ia mengawali, masih sembari konsentrasi menorehkan cat. "Mereka selalu condong ke arah matahari. Mereka ngingetin gue sama orang-orang yang selalu tertarik sama lo. Para cewek dan submisif di hampir semua tempat selalu melihat ke arah lo."

Oke .... Pengakuan itu membuat Aksa cukup kaget. Ia kira Luna punya alasan sesimpel karena bunga matahari berwarna kuning atau karena bunga matahari penghasil kuaci. Rupanya tanaman itu betul-betul memiliki kesan negatif dalam dunia Luna. Tapi, "Itu terjadi secara alamiah. Gue gak bisa nolak dan minta mereka berhenti jadi heliotropis."

"Makanya gue nggak benci matahari, karena itu bukan kemauannya."

Aksa kontan berpaling. Luna sedang merampungkan pekerjaannya tanpa peduli akan pengaruh kalimat yang dilontarkan.

Sebenarnya ada yang ingin Aksa katakan untuk membalas ucapan Luna, namun gugup lebih dulu menusuknya dari segala penjuru. Aksa semakin goyah tentang haruskah ia melakukannya. Di sela renungan, Aksa dengar Luna menyeletuk.

"Gue suka di sini. Lain kali kalo mau ke sini ajak gue lagi, ya?"

"Tadi lo keliatan keberatan banget."

"Itu kan tadi," sergah Luna membela diri.

"Kenapa? Karena di sini bisa ngelukis?"

"Iya."

Aksa terdiam sesaat. Tampaknya yang ini tak perlu dipertimbangkan dahulu. Luna sudah pasti suka. "Mau gue beliin alat lukis?"

"Boleh?" Luna menoleh cepat dengan binaran antusias di matanya.

Aksa mengangguk mantap.

"Makasih," senyum Luna. "Nanti kita taruh di sini. Beli yang agak banyak, boleh nggak? Buat anak-anak sekalian."

"Boleh. Tapi maksud gue buat di rumah. Biar lo bisa ngelukis kapan aja. Nggak perlu nunggu tiap ke sini."

Ada jeda cukup panjang yang mengharuskan Aksa menanti, sebelum suara berintonasi tenang menerobos telinganya. "Di sini aja. Mama sama Papa nggak izinin gue ngelukis soalnya."

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang