30

524 74 32
                                    

Chapter ini sangat panjang jadi alangkah baiknya dibaca pas senggang.

*

Jauh sebelum ratusan hari terlewat, Aksa sudah bisa mengidentifikasi adanya satu rasa baru yang menimbulkan reaksi amat berbeda.

Aksa mencintai Davi.

Cowok itu seolah menguasai magis yang berpengaruh kuat pada Aksa. Walau hanya dengan namanya diperdengarkan, gejolak asing yang semula membuat perut Aksa mulas berubah jadi familiar dan menyenangkan. Di tingkatan selanjutnya, Aksa mengalami gejala kecanduan bagai konsumen psikotoprika; ingin menikmati sensasi melambung ke awan terus menerus. Bahkan Radin sudah bisa mendeteksi perbedaan aura Aksa ketika bersama Davi.

"Masih gara-gara dipukul ayah kamu?"

Aksa mendelik pada Davi, namun tujuan sebenarnya adalah cengiran Radin di belakang sana. "Dia bukan ayah aku."

"Ya terus siapa?" Davi menyahut jutek. Sekali lagi, dia yang harus mengobati luka-luka di wajah Aksa.

Aksa menggedik. "Aku gapunya ayah."

"Suka-suka kamu dah," timpal Davi jengah dan nyaris tidak peduli. Ia fokus kembali pada memar keunguan di tulang pipi Aksa yang berdarah.

Perih mendera saat alkohol menimpa kulit yang terbuka. Akan tetapi tidak ada waktu untuk Aksa menggubris, sebab dia lebih tertarik merekam pesona eksistensi di depan mata. Pada sejengkal jarak yang tersisa, Aksa akui betapa ia menggilai orang ini.

Senyumnya masih tidak bisa diamankan sampai penanganan Davi selesai. Saking mengganggu pemandangan, satu suara menceletuk,

"Tembak aja sih udah."

Praktis Aksa panik memeriksa sekeliling– respons yang kemudian ditertawakan Radin sampai puas, padahal jantung Aksa nyaris terjun ke bokong.

"Paan sih, Bang. Tar dia denger gimana?" Aksa merebahkan punggung ke sandaran sofa, matanya tersorot kesal.

"Bagus dong. Biar dia peka," jawab Radin tidak terpengaruh. Dengan sangat sopan ia menaruh kaki di atas meja.

Mendengus. "Dia peka. Cuma nggak mau sama gue aja."

"Aduh sedih. Padahal lo muja dia kayak berhala, masih aja dicuekin." Radin mendemonstrasikan gerakan mengusut air mata, meledek. Imbuhnya, "Perlu bantuan gue nggak nih?"

"Nggak usah. Biar gue urus masalah gue sendiri."

"Heleh. Dibiarin masih jalan ditempat, dibantuin gak mau. Mana gegayaan udah 'aku-kamu' padahal status belom jelas."

"Yeuu, sirik aja lo, Bang."

"Bacot. Jangan sampe gue yang udah setaun jadi obat nyamuk ini sia-sia, ya, Sat. Lo kira enak jadi si 'lo' di antara si paling 'aku-kamu'?"

Asli, wajah julid Radin layak dapat penghargaan.

"Ini ceritanya lo juga mau 'aku-kamu'-an sama gue?"

Radin diam sesaat, matanya berlarian kesana-kemari. "Yaaaa, kalo sahabat mending gitu. Masa 'lo-gue'. Tapi bukan sama lo doang, kita bertiga. Biar berasa lebih deket."

Padahal Aksa cuma asal bicara, rupanya malah tepat sasaran. Jadi ini alasan lain Radin selalu uring-uringan tidak jelas. Aksa mengusap dagu berpikir. "Boleh sih ... tapi nggak deh. Aneh aja nggak sih? Tar dikira calon pacar gue dua."

Sontak Radin berairmuka masam. Padahal ia sudah merendahkan harga diri demi mengakuinya. "Sialan lo. Tapi terserah lah ya, gue juga nggak ngebet-ngebet amat! Yang jelas lo mesti ngaku sama si Davi secepetnya, awas aja!"

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang