8

547 67 3
                                    

Minggu pagi dibuka oleh sang mentari yang menyingsing ufuk lebih cepat dari terakhir kali Luna ingat. Dia mengerang, ingin lebih lama bergelung di bawah tumpukan selimut tatkala ketukan di pintu kamarnya sudah bertransformasi menjadi gedoran brutal. Itu Wina yang tak pernah absen mengganggu pagi Luna dengan teriakan.

"Aluna! Bangun! Udah pagi ini! Anak perawan jangan ngebo!"

Sosok yang terpanggil baru muncul di gedoran kesekian, saat dirasa akan tampak mengkhawatirkan jika pintunya hancur setelah ini. Mendengus. "Luna bukan anak perawan, Mamaaaa!"

Itu buruk. Luna menelan kembali apa yang akan dikatakan. Mengingat Wina super protektif pada "anak perawan"-nya, kalau sampai nekat, kemungkinan besar ia tidak akan mendapat izin keluar rumah selama setahun kedepan.

"Iya, Maaaa. Bentar lagi Luna–" Eits, apa katanya?

"Di bawah ada Aksa. Mandi dulu sebelum turun."

Baiklah, untuk apa manusia kutub itu ke rumahnya pagi-pagi begini?

"Ngapain lo di sini?" tembak Luna begitu sampai di empat anak tangga terakhir. Wajahnya tak lebih baik dari pertama membuka mata. Tentu saja, Luna mengabaikan peringatang sang Mama termasuk cuci muka-gosok gigi.

Aksa tidak sedikitpun terganggu oleh rambut sarang burung Luna, hanya saja bisa tidak dia menyingkirkan kotoran di matanya? Sebesar itu mustahil tidak terlihat.

"Mau ajak lo lari pagi," sahutnya pendek. "Gak usah repot-repot, Tan."

Wah. Barusan itu apa? Bagaimana bisa airmuka Aksa berubah dalam sekejap? Bahkan tidak sampai sedetik setelah tatapan datar untuk wajah penuh senyum terbit. Luna merinding.

"Gak repot, kok." Wina membalas sambil lalu, setelah menyempatkan memberi satu delikan dan desis tak suka pada Luna yang tidak mendengarkan ucapannya. "Justeru Tante seneng karena setelah sekian ratus Minggu ada juga yang ngetuk pintu rumah Tante buat ngajak Luna lari pagi. Tante kira dia bakal ngelajang seumur hidup."

Tepatnya, tidak ada lagi yang berani bertandang ke rumah setelah tahu Wina dan Cakra dan segala keribetannya. Hanya perkara waktu sampai Aksa juga mengalami fase tersebut.

Luna berkacak pinggang, mencoba mencari niat asli di balik segala sopan santun dan citra "anak baik" yang Aksa perankan. Tapi tidak bisa. Entah kenapa. Padahal Luna yakin senyum cerah yang Aksa pertontonkan saat ini pasti penuh kepalsuan.

"Yang, sini bentar deh."

Hah?

Barusan dia bicara pada siapa?

"Aluna. Di panggil lho itu sama Aksa."

Oh. Padanya.

"Hm," gumam Luna. Seberapa besar pun malasnya, tak menghalangi kaki yang berderap patuh. Tck. Curang sekali. Aksa dapat sokongan dari Wina.

Atas apapun yang akan dilakukan Aksa, Luna bersumpah dia tidak mau tahu kalau saja tangannya tidak diraih untuk kemudian ditarik mendekat. Mata Luna nyaris membelalak. Ya Tuhan, cowok itu bahkan bisa melakukan hal menggelikan semacam ini.

"Apa?" kata Luna tanpa suara.

"Cepet mandi trus siap-siap. Gue tunggu di sini."

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang