[21]

576 102 27
                                    


  Keheningan menyertai. Ada dua orang yang tengah berada disana namun tiada satupun yang berniat membuka suara. Gadis disana merasa bahwa sudah cukup baginya untuk berbicara panjang lebar seperti tadi. Ia menarik nafas dalam-dalam. Menatap kosong sebuah tumpukan buku yang terkapar sembarang diatas meja.

  Tidak lain halnya dengan Kenma. Kedua bibir laki-laki bersurai pudding itu dikatup rapat. Seolah kata-katanya tertarik oleh nafas yang tersengal.

  Dia melirik teman perempuannya itu. Yang ia dapat hanyalah sebuah tatapan kosong pada netra [e/c] nya.

  Tentu saja tidak mudah bagi Kenma, bahkan siapapun jika dipertemukan dalam situasi seperti ini. Dimana kau baru mengetahui sesuatu yang  berkaitan dengan teman dekatmu. Kisah-kisah menyedihkan yang diucapkan dengan aksen datar sembari memaksakan senyum pahit di wajahnya.

  Setelah bertahun-tahun lamanya, di 10 tahun kemudian, Kenma baru mengetahui kebenarannya.

"Katakan saja, apa saja yang ingin aku utarakan" batin Kenma memberontak

  Namun bibirnya tak bisa diajak bekerja sama. Masih diam membungkam, terasa kaku dengan mati rasa menyertai.

  Gadis disana juga nampaknya tak memaksakan Kenma untuk memecahkan keheningan. Ia tahu ini akan sulit. Lagian siapa yang bisa menerima segalanya dengan mudah, setelah kau meninggalkannya tanpa pesan maupun ucapan selamat tinggal.

  "Maaf, aku tahu ini--"

  "[Name]."

  Kenma memotong perkataan [Name]. Terdengar intonasi datar serta aura yang berbeda dari arah lelaki di sebelahnya. Perempuan yang dipanggil namanya hanya bisa menggulir pandangannya kearah lelaki itu.

  Salah satu tangannya membentang sekaligus menangkup tubuh [Name] yang memang lebih kecil darinya. Telapak tangannya mendarat di punggung [Name], didorong kearahnya  sehingga dada mereka saling bertabrakan.

  "Maaf."

  Satu kata terloloskan. Nadanya terdengar pelan menyapu indra pendengar. Lebih terdengar seperti sebuah bisikan dibandingkan ucapan.

  "Maaf karena tidak bisa berada disaat  masa sulitmu."

  Alisnya berkerut. Gadis itu seolah tidak mengerti maksud dari ucapan Kenma. Disisi lain ia merasa ini tidak benar.

  Kenma seharusnya tidak berkata seperti ini.

  Sejak awal, ini bukan salahnya. Kenma yang ditinggalkan. Gadis itu bahkan tidak keberatan jika Kenma mendaratkan pukulan di wajah miliknya, jika berkenan.

  "Seharusnya kau tidak melewatinya sendirian. Harusnya aku menemanimu."

  Buliran air mata mulai menghalangi pandangannya. [Name] menggelengkan kepalanya pelan upaya tidak terima jika Kenma terus-terusan menyalahkan dirinya.

  "Tidak.. kau tidak boleh berkata seperti ini. Kau tidak salah Kenma.. kau tidak bisa menyalahkan dirimu."

  Kenma makin menekan tangannya yang berada di punggung [Name]. Membuat tubuh gadis itu makin dekat dengannya tanpa ada jarak sedikitpun. Seakan tidak ingin kembali berlepas, tak ingin lagi ditinggalkan.

  "Kenapa.. kau selalu meninggalkanku..?" tanya Kenma dengan nada yang makin pelan.

  [Name] menampakkan ekspresi murung. Kedua matanya kembali menatap sendu. Perlahan kelopak matanya menghalangi iris [e/c] yang sejak dulu menampilkan binar.

  Kedua matanya mulai terasa memanas. Mungkin ia akan membanjiri bahu Kenma dengan air mata dalam beberapa menit kedepan.

  Wajahnya ditenggelamkan pada bahu Kenma yang agaknya memang dibuat untuk dijadikan sandaran. Suara tangisan terlepas. Tidak ada yang bisa  disembunyikan lagi, ia memang berniat melepaskannya setelah sekian lama.

𝐈𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐞𝐧𝐝 | 𝐊𝐨𝐳𝐮𝐦𝐞 𝐊𝐞𝐧𝐦𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang