Milikku (Daru)

20 2 0
                                    


Hari ini aku berjanji bertemu Kak Wastika di kampus. Dia cukup sibuk belakangan ini karena sedang mengurus wisudanya minggu depan. Dan hari ini katanya dia bakalan selesaikan semua urusannya di kampus jadi kami bisa bertemu. Aku harus selesaikan semua, sudah cukup aku berlama-lama dalam kebimbangan ini. Selama mengurung diri di rumah belakangan ini aku banyak intropeksi diri. Aku banyak berpikir dan berusaha untuk mengenali hatiku sendiri. Ini sulit tapi aku harus mengambil keputusan supaya aku tidak semakin menyakiti Kak Wastika dan Pijar. Dua wanita yang mengisi hatiku dan membantuku lepas dari masa lalu. Aku menyayangi mereka berdua, dan kini aku tau di mana posisi mereka masing-masing di hatiku. Aku harus memilih berada di sisi salah satu dari mereka.

Setelah selesai urusan di kampus, Kak wastika menemuiku dan aku mengajaknya duduk di taman kampus. Di sini bicara bisa lebih tenang.

"Gimana persiapan wisuda Kakak?" tanyaku, kami sedang duduk di bangku di bawah pohon yang rindang.

"Semua udah beres, akhirnya aku bisa wisuda juga." ucapnya sambil tertawa kecil. Wajahnya masih secantik saat kami pertama bertemu.

"Selamat ya, Kak." ucapku, Kak Wastika tersenyum bahagia. Senyum yang dulu selalu kurindu.

"Kamu juga, tetap semangat dan kuliahnya jangan dicueki lagi ya." ucap Kak Wastika, aku tersenyum.

"Nggak, kok. Bulan depan sudah masuk semester 5. Cuma telat 2 tahun" ucapku sambil tertawa. Kak Wastika ikut tertawa. Angin bertiup lembut mempermainkan rambutnya yang panjang.

"Nggak apa-apa, dijalani dan sabar ya." ucapnya jenaka.

"Siap, Senior." ucapku, Kak Wastika kembali tertawa. Menambah pesona di wajahnya.

"Mau ngomongin apa ni." ucap Kak Wastika yang sepertinya tau aku mengajaknya bertemu untuk bicara.

"Aku mau lihat keadaan Kakak. " ucapku belum mau bicara.

"Sudah nggak usah buat alasan, kayak baru kenal aja." ucap Kak Wastika, aku tersenyum meringis. Kak Wastika memperbaiki duduknya dan memiringkan tubuhnya ke arahku. Dia seperti sudah siap untuk mendengar apapun yang aku katakan. Aku mendesah pelan lalu ikut memiringkan posisi dudukku supaya kami bisa saling melihat dengan jelas.

"Aku ingin minta maaf, selama ini sudah bersikap seperti pecundang." ucapku sambil menatap Kak Wastika yang sedang menatapku.

"Aku pernah katakan kalau aku masih menyukai Kakak. Kita pernah bicara di taman perpustakaan saat itu. Maaf, aku sudah memberi Kakak harapan yang tidak bisa kupenuhi. Aku sudah mengecewakan Kakak." ucapku, ada riak di mata Kak Wastika. Perasaan bersalah menyelimutiku, Kak Wastika masih menungguku melanjutkan perkataanku.

"Beberapa waktu belakangan ini aku menyadari kalau..." ucapku berhenti dan menarik nafas pelan lalu...

"Aku sudah tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Semua terjadi begitu saja, aku nggak tau sejak kapan. Aku berusaha untuk kembali melihat Kakak seperti dulu tapi aku malah semakin menyakiti Kakak dengan sikapku. Aku nggak ingin semakin menyakiti Kakak." ucapku, rasanya susah sekali melanjutkan pembicaraan ini.

"Aku tau." ucap Kak Wastika, aku menatapnya. Matanya yang tadi cerah terlihat kelam.

"Aku hanya pura-pura tak tau selama ini. Aku pikir Kamu akan bisa kembali mengalihkan perhatianmu padaku, tapi aku salah." ucapnya sambil senyum tapi matanya terlihat sedih.

"Aku juga sudah bicara dengan Pijar." ucapnya lagi, Kak Wastika bicara dengan Pijar?

"Aku memang kecewa dan sedih tapi aku juga nggak bisa egois dengan menahanmu di sisiku. Aku merelakanmu..." ucap Kak Wastika pelan, dadaku berdesir halus. Kak Wastika menunduk, hatiku terasa sakit sudah menyakiti wanita lembut ini. Wanita yang banyak berjuang untuk membangkitkanku saat terpuruk. Wanita yang banyak mengisi mimpi-mimpiku dulu. Maafkan aku...

Sudut HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang