1 - Wrong number, again

190 32 10
                                    

Semester dua ini lumayan baik bagi seorang Mark Leonardo. Karena semenjak ditegur pak Suro bulan lalu, dia rajin datang les bersama ibu Airin. Tugas-tugasnya kini banyak mendapat nilai B, B+, atau A. Itu sebuah peningkatan yang baik mengingat sebelumnya selalu C bahkan D.

Mark menatap meja-meja kafe yang sudah bersih, akibat dirinya dan satu kawannya yang kini sudah berpulang. Celemek yang menandakan dia barista dilepasnya, disampirkan pada gantungan, dan langkahnya kini menuju wastafel. Sembari mencuci tangan sembari mulutnya bersenandung mengikuti alunan dari speakers. Lagu Skeletons dari Keshi, menemani Mark sepanjang beres-beres kafe bernuansa loft ini, milik perempuan bernama Wendy.

"Bang Le!" Seorang cowok berseragam SMA menghampiri Mark sembari melambai. Mark duduk disamping cowok itu yang bernama Hareza. Adik sang pemilik kafe.

"Oit, baru dateng nih."

"Baru balik extra, Bang, biasa. Hare juga bawa temen-temen tuh."

Tak sadar Mark menghela napas. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia tau, teman-teman Hare tidaklah baik- dimana artinya begitu berisik, jail, juga seram. Persis seperti kata Donni, yang juga kenal dengan Hare beserta kawan-kawannya.

Suara riuh mulai terdengar berbarengan dengan suara lonceng diatas pintu berbunyi. Mereka ada tiga orang, Jeno, Emin, dan Renzo.

"Bang Leee~" Suara Jeno begitu memekikan telinga. Kedua tangannya merangkul dileher Mark sesekali menepuk punggungnya.

"Hai, Bang Leo!" Renzo dan Emin dibelakang ikut menyapa.

"Hm...."

"Bang, dicariin." Jeno melepas pelukan. Mark mengangkat alisnya tanda tanya.

"Dicariin kak Yeri."

Perlu Mark ingat setiap saat, bahwa Jeno adalah adik seorang Yeri Bullan Navia. Dimana gegara salah kirim semester lalu, Yeri mulai bertindak berlebih pada Mark. Tentu, Mark tidak gubris karena baginya itu tidak penting.

"Cie, cie. Ada yang naksir nih," ledek Renzo sembari menyenggol lengan Emin, menyuruh untuk ikut meledek.

"Jeno, jangan jadi mak comblang ya lo. Gue ogah ntar nemenin lo ngegame. Dan untuk kalian berdua," Mark menunjuk Renzo dan Emin, yang masih tertawa. "Mending diem. Sebelum gue larang kalian main PS di kos gue."

"Jangan!" Renzo dan Emin mengucap berbarengan.

"Kalo gue sih," Jeno menyaut. "Nggak papa, Bang. Gue bisa main sama Hare kok, atau sama bang Sena." Jeno melirik Hare, sekaligus meminta persetujuan.

Hare mengiyakan sembari bangkit menuju meja bar. Anak itu terbiasa membantu di kafe, meski tidak sering. Dia berniat membuat es americano. "Bang Le mau dibuatin nggak? Anak-anak kalo masih isengin bang Leo, nggak gue buatin ya."

Seolah ancaman Hare itu nyata, Jeno, Emin, dan Renzo tak lagi meledek Mark. Mereka diam anteng persis seperti anak TK diberi perintah.

"Nggak deh, Har. Mau balik bentar lagi. Oh ya, Jen," Mark menatap Jeno yang duduk disebelahnya. Lelaki dengan mata sipit itu mendeham menatap balik sang abang.

"Bang Sena kapan free, suruh main dong ke kos. Adu ps sama gue dan bang Donni."

"Bang Sena mah, lagi asiknya ngedate. Ya nggak ngedate juga, karena lagi garap skripsi. Tapi sama aja tuh, berduaan doang sama Selgia," jawab Jeno sedikit mencibir.

Tale Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang