Suasana kantin hari ini cukup ramai. Dua insan dengan pakaian yang cukup senada itu kebingungan mencari tempat kosong. Perempuan itu menunjuk arah kanan, dimana ada satu bangku panjang tak berpenghuni, namun didepannya ada dua orang menempati.
Mark melihat arah tunjuk Yeri. Seketika dia langsung menggeleng begitu melihat lali-laki yang pernah gosipin Yeri waktu itu, berada disana. "Ri! Cari yang lain aja napa?"
"Ayo, Mark! Leo!"
Akhirnya Mark menurut, karena kasian juga kalau mi ayamnya melebar begitu saja. Mereka menuju bangku kosong tadi.
"Hai, guys!"
Mark tak tau kemana pikiran Yeri yang menyapa mereka. Perempuan itu kini tersenyum lebar pada dua orang tukang gosip tersebut.
"Lagi objekin siapa lagi nih sekarang? Enak bener ya hidup kalian, sedangkan oranglain nggak punya ruang aman, terutama perempuan," ucap Yeri dengan nada sinis.
"Maksud lo? Nggak usah percaya diri ya jadi cewek," sewot lelaki berambut abu-abu. Tampangnya sih biasa saja, tapi mulutnya kelewat biasa, hobinya julid sih. Mark sampai menahan tawa karena melihat perdebatan Yeri dan laki-laki itu. Hajar terus, Ri!
"Dih, sikap lo aja gitu, mana ada yang mau, woe?" Yeri masih berdebat, sesekali menyeruput kuah mi-nya. Batin Mark, masih bisa saja itu anak makan.
"Cewek sok berani nih," si lelaki disebelahnya yang memakai jaket jeans menyaut.
"Jaman sekarang gitu. Ceweknya pada nggak tau diri. Sok berani giliran di pake nangis-nangis."
Buk!
Suara gebrakan meja itu hampir memenuhi seluruh kantin. Asalnya dari Mark yang begitu tidak tahan akan omongan dua lelaki sialan di depannya. Mulutnya masih bungkam namun tatapan tajam itu masih dia tunjukan.
"Sialan lo. Berani sama gue?" Lelaki itu menantang Mark.
"Hari gini masih jadi pahlawan kesiangan. Banci!"
Dua orang itu tertawa keras tak ada beban. Sorakan dari mahasiswa tak membuat keduanya kapok.
"Brengsek!" Emosi Mark sudah tersulut habis. Dia menonjok sebelum Yeri menghadang dengan tangannya. Mark melihat manik Yeri yang menatapnya dalam.
Seketika wajah sang ibu muncul bersamaan dengan wajah Yeri yang tenang, tersenyum, dan seketika membuat emosi Mark luruh.
Suara sorakan terdengar lebih keras seiring kepergian dua orang gosip itu. Mungkin sebagian mahasiswa disana tau kelakuan mereka. Namun karena hal tersebut masih tabu, maka jarang ada yang membicarakannya.
Mark kembali duduk. Meminum satu botol air putih sampai setengahnya. Yeri mengelus pundak Mark pelan. "Maafin gue ya. Gara-gara gue lo jadi emosi. Maafin ya, Mark."
"Mereka pantas kok."
"Udah ya, jangan dipikirin lagi. Gue janji kok nggak bakal berurusan sama mereka."
Mata mereka bertemu. Mark menaikan jari kelingkingnya ke udara, lantas mengangguk sekali.
Yeri menggait kelingking itu seraya tersenyum lebar. "Janji. Makasih, Mark."
.....
Mark menarik napasnya dalam-dalam. Dia tidak sanggup membuka luka lamanya yang setelah bertahun-tahun tertutup rapat. Namun, hati dia berkata bahwa perempuan di depannya bisa dipercaya dan mampu menyembuhkan luka itu.
"Nggak papa kok, kalau belum siap cerita. Hal seperti itu 'kan juga privasi, apalagi nyangkut almarhum mama lo."
Tangan Yeri bergerak mengelus punggung tangan Mark. Tak lama, tapi efeknya mampu membuat hati Mark bergelombang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale Of Us
Fanfiction[novel] [end] ✔✔✔ Hanya dari kesalahan nomor saja membuat pemuda bernama Mark Leonardo Affandi, dekat dengan perempuan bernama Yeri Bullan Navia. Kedetakan mereka bukan sekadar manis-manis saja. Bahkan Mark rela merasakan sesak kala topik kehidup...