Mark berdeham mengurangi rasa gugup yang menyeruak. Langkahnya kira-kira sudah sepuluh meter jauhnya dari apartment. Dengan seseorang di sampingnya yang ingin sekali Mark ajak ngobrol. Namun, suaranya seperti tercekat sedari tadi, alhasil masih belum membuka topik obrolan.
"Mark, maafin ya." Yeri berucap memecah keheningan di antara mereka. "Maaf, nggak jengukin lo kemarin. Gue lagi-"
"It's okay, Ri. Lo udah jenguk kok, gue tau."
"Coba," Yeri menghentikan langkah. Dia mengadap Mark lalu mengecek telinga lelaki itu yang ada bekas lukanya. Dia mengusapnya pelan.
"Kok bisa ya, ada orang sejahat mereka. Ini kalo kena kepala, pasti bisa amnesia. Parah banget deh. Kalo ketemu gue, gue maki-makiin tuh orang."
Melihat Yeri seperti ini, hati Mark sedikit tenang. Dia suka akan omelan Yeri, dan suara cerewetnya. Seminggu tidak bertemu, sudah membuatnya rindu. Iya, Mark kini mengakui dirinya rindu pada perempuan di depannya ini.
"Nanti beli salep ya, biar bekasnya cepet hilang."
"Ri,"
Tangan kanan Mark bergerak menarik punggung Yeri, menyisakan jarak sekitar satu jengkal saja. Mata coklat Yeri naik, menatap Mark yang begitu lamat memandanginya.
"Ri, gue kangen," ucap Mark penuh harap.
"Mark...."
"Hm? Gue serius. Gue kangen lo."
Yeri terbatuk tiba-tiba. Dia melepaskan diri dari Mark lalu melanjutkan jalan lagi. Riuh kendaraan di sekitar yang membuat perempuan itu sadar, bahwa mereka sedang berada di jalanan, tepatnya di trotoar. Tidak etis kalau disini melakukan hal seromantis tadi.
"Ri, gue serius. Semingguan kemarin lo kemana sih? Kenapa chat gue nggak dibales?"
"Sini," Yeri menarik pergelangan tangan Mark menuju kedai ice cream disisi jalan. Dia memasukinya dan memesan dua rasa cokelat. Lalu mengambil duduk di dekat jendela dimana langsung mengarah ke jalanan.
"Gue nggak bawa uang tapi," kata Mark dengan wajah melas. Dia terus merogoh sakunya, bahkan hpnya saja tidak dia bawa tadi.
Kekehan Yeri terdengar. "Kayak sama siapa aja. Tenang kali, duit gue banyak."
"Iya dah iya. Bayarin ya, besok gue ganti."
Yeri tak menjawabnya lagi, karena pesanan mereka sudah siap. Sembari makan sembari berpikir, apa dia akan bilang soal Jun? Soal Jun yang ingin dia menjadi pacarnya. Tapi, Yeri pikir-pikir lagi, tidak terlalu penting untuk diobrolkan.
"Mark, gue dari kemarin ngerjain tugas jurnalis. Sibuk banget, sampai pulang malem. Kurang tidur pula. Tapi, ...."
"Kenapa?" Mark menghentikan makan ice creamnya. Dia melipat tangan dan menghadap Yeri sepenuhnya menunggu kalimat selanjutnya.
"Nggak jadi deh."
"Ah, gak asik!" Bibir Mark cemberut sembari mengaduk ice creamnya asal-asalan. Entah kenapa dia ingin Yeri cerita semuanya apa yang perempuan itu alami, rasakan, dan hal baik atau buruk yang sedang terjadi.
Satu colekan pada hidung Mark dilakukan oleh Yeri. Tak lupa ada secuil ice cream disana membuat Mark membulatkan mata. "Ri! Nyebelin banget deh lo. Gantian,"
"Nggak kena dong!"
"Yeriii!"
Tawa Yeri begitu lebar melihat tingkah Mark. Dia terus menjaili dan mencolekan ice creamnya. Mark kini hanya pasrah akan hal itu, memilih diam dan melihat senyum manis Yeri.
"Yeri, jadi pacar gue ya?"
"Maaf, Mba, Mas?"
Yeri menoleh pada waiters disana yang membawa sebuah nampan berisi dua ice cream cokelat dengan toping bermacam-macam. Ini adalah menu spesial, yang dibagikan pada pasangan yang datang ke kedai Ice Cream Sweet ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale Of Us
Fanfiction[novel] [end] ✔✔✔ Hanya dari kesalahan nomor saja membuat pemuda bernama Mark Leonardo Affandi, dekat dengan perempuan bernama Yeri Bullan Navia. Kedetakan mereka bukan sekadar manis-manis saja. Bahkan Mark rela merasakan sesak kala topik kehidup...