Sudah hampir seminggu Anna sama sekali tak berjumpa dengan Sendra. Bukan apa, hanya saja rasanya agak canggung untuk kembali dekat dengan Sendra. Anna tahu betul status Sendra saat ini. Jika sampai ada rumor bahwa Sendra dekat dengan wanita lain dan ternyata itu Anna, bisa rontok rambut Anna. Akan banyak omongan buruk di belakang sana, terlebih mereka bisa saja membandingkan Anna dengan Sella, istri Sendra saat ini. Anna sadar diri jika dirinya tak bisa dibandingkan dengan Sella yang terlahir dengan sendok emas itu.
"Kamu gak tahu, betapa beratnya hidupku selama ini. Aku punya pilihan sendiri, tetapi aku tak bisa melakukan apa-apa. Orang tuaku, perusahaan itu, semuanya mengendalikanku! Saat aku lelah, siapa yang mau mendengarkanku?!" Sendra mengatakannya dengan emosi yang menggebu-gebu. Ia menahan tangisnya agar tidak keluar.
Anna kembali menghadap Sendra meskipun kali ini ia memberi jarak. "Lalu, apa gunanya Sella?" celetuk Anna.
"Bukan dia yang kucintai," ujar Sendra. "Tapi kamu dan masih kamu," lanjutnya lirih, tetapi Anna tetap meninggalkannya.
Mendadak Anna kembali teringat dengan kejadian itu. Bagaimana bisa Sendra mengatakan itu dan apa maksudnya?
Anna duduk bersender kursi sofa di ruangannya. Yah, memang ruang kerjanya bisa dibilang cukup luas sampai sofa pun bisa masuk. Mengingat Anna adalah tangan kanan pemilik furniture shop ini.
Tok tok tok...
Anna menoleh dan langsung mempersilahkan masuk. Ternyata salah satu staf. "Maaf, Mbak. Ada yang mau ketemu."
Tiba-tiba jantung Anna berdebar, takut-takut jika Sendra yang datang. Namun, ternyata tebakannya salah. Candra masuk dengan senyumannya yang memang ramah, tapi terkesan menipu di mata Anna. Sejujurnya, Anna benci lelaki murah senyum mengingat mantan kekasihnya juga hampir mirip dengan Candra alias sulit dipercaya. Anna langsung bangkit untuk menyapa Candra.
"Ada urusan apa anda ke sini?" tanya Anna to the point. Di mata Candra ya wajar saja, tapi bukankah ini terlalu ketus dan dingin? "Apa anda ingin komplain soal pesanan kemarin?" lanjut Anna bertanya, menambah kesan ketus dan dingin.
Bukannya menjawab, Candra malah bertanya balik, "apakah saya boleh duduk?"
Anna terpaku sejenak. "O-oh, silahkan," balasnya.
Candra mengangguk mengerti lalu duduk di kursi yang telah disediakan. Anna juga menyusul duduk di hadapan Candra.
"Pak Dokter, pertanyaan saya tadi belum dijawab," ujar Anna lagi. Candra menatap Anna masih dengan senyuman yang terus melekat di wajahnya.
"Saya ingin menambah furniture untuk rumah," ujar Candra.
"Kenapa gak melalui staf kami?"
"Saya maunya langsung ke kamu," jawab Candra membuat Anna merasa malas meladeninya. "Tapi gak cuman itu, kok. Saya mau bekerjasama juga dengan anda. Saya punya banyak kenalan baik rekan kerja atau pasien, saya bisa merekomendasikan toko ini dengan review jujur saya," lanjutnya menjelaskan.
"Review?"
Candra mengangguk, "menurut saya barangnya bagus banget. Dengan harga segitu jauh lebih worth it dibandingkan tempat lain. Berkualitas, pelayanan baik dan overall betul-betul memuaskan," ujarnya semangat.
Mata Anna jadi berbinar. Ini soal bisnis, jadi beda cerita lagi dengan alasan mengapa ia tak terlalu menyukai Candra.
"Terima kasih atas honest reviewnya," ujar Anna.
"Tapi bisa gak kali ini saya dikasih diskon?"
Raut wajah Anna yang tadinya sangat amat bersemangat luntur seketika ketika Candra bertanya soal diskon.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice
FanfictionSella dan Sendra bukanlah pasangan suami-istri sempurna. Sikap Sendra yang begitu dingin, membuat Sella enggan kembali berjuang agar hubungannya dengan sang suami membaik. Pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Namun, Sella memiliki pemikira...