They Like Her

134 19 12
                                    

Jadwal periksa Cahya hari ini cukup padat setelah ia izin 2 hari karena tidak yakin bisa bekerja dengan baik akibat ulah Sendra yang meninjunya waktu itu. Saat jam makan siang tiba, kali ini Cahya menyempatkan diri untuk makan di kafetaria rumah sakit. Ia membeli nasi kuning dan es teh untuk mengisi perutnya.

"Widih, dokter ganteng nih udah aktif kerja lagi."

Cahya langsung menoleh saat ada yang menempati kursi kosong di dekatnya. Joan, dokter anak yang juga menjadi salah satu favorit rumah sakit. Tidak hanya tampan, Joan cukup berpengalaman dan ramah sekali. Semua orang menyukainya, bahkan anak-anak yang dirawatnya pun sangat menyukai Joan.

"Makan, bro!" balas Cahya tidak kalah ramah. "Lo gak makan?" tanya Cahya saat melihat hanya ada cookie frappe di atas meja.

"Gue tadi dapet nasi kotak. Jadi jam makan siang gue beli minuman aja," ujar Joan menjawab.

Cahya mengangguk mengerti, "enak lo dapet rejeki nomplok."

"Ya, lumayan. Nanti sore juga ada kondangan, nah makin kagak keluar uang gue," celetuk Joan bangga.

"Dimana kondangannya?"

"Di TPU."

"Ngeri banget," balas Cahya sambil tertawa sampai isi yang ada di mulutnya muncrat.

Joan mengerutkan keningnya, "jorok banget sih lo, bang!" omelnya.

"Lagian lo, bikin ketawa aja."

"Ya di wedding hall, lah. Di gedung. masa di TPU Tanah Kusir," balas Joan kesal.

"Oke-oke, bener."

"Ya siapa juga yang bilang gue salah?"

"Terserah lo, Joan jelek."

"Nggak boleh gitu di sini. Masih jam kerja, ngerti? Lo harus tau, pasien gue rata-rata bocah," ujar Joan.

Cahya mengangguk saja tak mau banyak bicara.

"Bang, gue mau nanya deh."

"Apa?" Cahya meresponnya sambil menghabiskan makanannya.

"Cewek yang kapan tau itu ngobrol sama lo waktu nemenin ibunya kontrol, hehehehe."

Cahya langsung menatap Joan kesal. Ia bahkan langsung berhenti sejenak dengan kegiatan makannya.

"Heha hehe lo."

"Ngeliatin gue biasa aja dong, bang!"

"Mau ngapain?"

"Hehehe, kenalin, dong."

Cahya tak menghiraukannya, ia kembali menghabiskannya dan setelah itu meneguk es tehnya. "Jangan bikin gue keselek, Jo."

"Ya kenapa, deh? Dia cantik, loh. Gue juga ganteng, mapan, baik. Kurang apa coba?"

"Kurang beruntung," jawab Cahya asal membuat Joan berdecak sebal.

"Mohon kerjasamanya, dong."

"Nggak boleh!" tolak Cahya mentah-mentah.

"Kenapa, deh? Dia udah ada pawangnya, ya?"

"Belum, sih."

"Lah, terus?"

Cahya bangkit dari duduknya. "Diem lo, lagi ada yang berjuang buat dia." Setelah mengatakan itu, Cahya beranjak dari sana.

"Woy, siapa? Bang Cahya! Wah, siapa?!" Joan memanggilnya berulang kali, tetapi Cahya tidak peduli.

Ada yang berjuang untuk perempuan seperti Anna, yaitu dirinya sendiri, Cahya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang