Sejujurnya, kalau bukan Anna yang meminta, Cahya tidak akan bela-belain sampai harus tukeran shift juga dengan temannya, Teduh. Dokter yang lebih pendek itu terkadang juga kesal karena ulah Cahya yang begitu dadakan. Seperti halnya sekarang ini, terlebih permintaan Cahya membuat jam shift mereka berantakan.
"Ya elah, Duh. Kan lo praktik sampai malam. Nanti kalau urusan gue kelar, lo sambung lagi," ujar Cahya.
"Kenapa, sih? Nggak biasanya gini lo. Aduh, bikin mumet kepala gue aja."
"Urgent ini, woy! Perkara masa depan gue!"
"Idih, masa depan lo udah keliatan?" ejek Teduh saat melangkah menuju mejanya. Mereka baru saja selesai makan siang. Ini masih jam istirahat dan itu sebabnya keduanya masih berada di ruang dokter, bukan ruang praktik.
"Duh, ya? Please, ya? Mau, lah. Aduh, gue bakal ngerepotin lo sih, mungkin. Kedepannya juga akan ngerepotin lo. Makanya, gue juga tau diri dan bakalan kasih imbalan, deh."
"Apanya sih yang kasih imbalan?" celetuk Ivanka, si dokter muda yang cantik dan tengah hamil ini datang masuk sambil membawa segelas kopi ke arah Teduh.
"Apa?" tanya Teduh kepada Ivanka.
"Aku kan gak boleh ngopi, tapi tadi dikasih sama pasienku ini katanya biar semangat," ujar Ivanka.
"Cowok, ya?"
Ivanka memicingkan matanya. "Kenapa? Cemburu, ya?" Teduh tidak merespon setelahnya, tetapi tangannya bergerak mengambil kopinya. Tingkah keduanya membuat Cahya yang duduk di kursinya sedikit jengah lantaran harus disuguhi teater romantis dan menjijikan seperti ini. Ia sampai ikut akting muntah untuk mengutarakan emosi dan perasaannya. Ivanka menyadari pergerakan Cahya dan meliriknya.
"Kalau iri, bilang," ujar Ivanka menyindir sembari duduk di kursi depan meja Teduh.
"Siapa juga yang iri? Ew," jawab Cahya malah masih berakting geli.
"Tau, tuh. Lo sirik aja, kan?" timpal Teduh sewot.
"Kalau cemburu juga bilang." Ivanka beralih menatap Teduh, suaminya itu. Si Teduh malah nyengir saja.
"Lagian ya, Yang. Emangnya dia buta apa? Perut gedemu ini apa gak keliatan?" Teduh mengomel. Lebih tepatnya mengomeli lelaki asing tidak jelas itu yang tiba-tiba memberikan kopi kepada istrinya. Dia tidak tahu saja. Ivanka itu setia, jadi hanya akan bergandeng tangan dengan Teduh. Lalu, Ivanka sudah menikah dan akan menjadi ibu. Yang paling penting adalah Ivanka tidak suka kopi. Katanya pahit, gak enak, malah bikin asam lambung.
"Baru juga 5 bulan, Yung. Ya masih belum keliatan banget, lah. Dia ngeliatnya aku gendut kali, ya? Sampai gak kelihatan gitu," balas Ivanka. Yung itu panggilannya kepada Teduh. Katanya lucu aja dan teringat Payung Teduh.
"Ih, apanya yang gendut? Ini menurutku juga—eh kodok eh kodok! Cahya brengsek!"
Cahya menggebrak meja Teduh keras. Ivanka tidak terlalu kaget, tapi Teduh berbanding terbalik. Lelaki yang sebentar lagi menjadi ayah itu selain mudah kagetan, dia juga mudah latah.
"Yung, gak boleh ngomong kasar, ya? Anakmu masih bisa denger, loh."
"Maaf ya, Yang? Si Cahya ini. Lo ngapain sih gebrak meja gue? Mau kosplay jadi Arya Wiguna?!" marah Teduh.
"Dilarang bermesraan ketika kerja," ujar Cahya penuh penekanan.
"Ini lo ngusir gue, Cay?" tanya Ivanka. Ivanka memang sudah biasa memanggil Cahya dengan panggilan Cay karena katanya lebih ringkas. "Eh iya, tadi tuh soal apaan, Cay? Kasih imbalan?" tanya Ivanka lagi ketika ingat dengan ucapan Cahya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice
Fiksi PenggemarSella dan Sendra bukanlah pasangan suami-istri sempurna. Sikap Sendra yang begitu dingin, membuat Sella enggan kembali berjuang agar hubungannya dengan sang suami membaik. Pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Namun, Sella memiliki pemikira...