Anna masih merenung terdiam, membiarkan Cahya asyik sendiri dengan ponselnya sembari menunggu Anna memulai percakapan. Pertanyaan Cahya sebelumnya juga belum dijawab. Cahya sendiri juga tidak memaksa Anna untuk menjawab. Dia hanya bertanya tanpa menginginkan jawaban. Biar Anna menjawabnya di dalam hati.
"Untuk paymentnya--"
"Soal yang tadi--"
Keduanya sama-sama membuka suara di waktu yang bersamaan. Suasana di antara mereka berubah jadi canggung seketika.
"Kamu duluan," ujar Cahya kikuk.
Anna juga ikutan canggung, "dokter duluan aja," balasnya.
"Udah, kamu duluan mau bilang apa. Saya gak terlalu penting, kok," jawab Cahya malah membuat Anna mendengkus.
"Soal yang tadi, menurut saya sih nggak. Saya gak ada rasa kok sama Sendra."
Cahya tersenyum, "saya gak ngerti jawabanmu tulus atau nggak. Tapi saya juga gak minta kamu jawab. Jadi gak usah dijawab sebenernya, sih," balas Cahya.
"Ya saya cuman bilang aja. Ngomong-ngomong, dokter sendiri--"
"Just call me Cahya, okay?"
"Iya-iya, Cahya. Ngomong-ngomong, anda sendiri kenal sama Sendra dari mana?"
"Saya dapat panggilan kerja di rumah sakit milik keluarganya. Sebelumnya, saya pernah bertemu dengan dia waktu saya ada urusan di rumah sakit itu. Saya ketemu lagi sama dia waktu bareng kamu, dan ketemu lagi waktu dia bareng istrinya," ujar Cahya menjelaskan.
"Istrinya di rumah sakit?" tanya Anna lagi.
Cahya mengangguk, "tapi bukan dia kok yang sakit."
"Terus?"
"Ibunya Sendra yang sakit," jawab Cahya.
Anna jadi merasa sedih mendengarnya. Pasti Sendra selama ini merasa kesulitan. Mengingat sebelumnya Sendra sudah cerita. Anna baru ingat sesuatu waktu Sendra datang kepadanya dan membutuhkan sandaran untuk bercerita. Apakah sakitnya ibunya Sendra ada hubungannya dengan waktu itu?
Cahya yang menyadari Anna langsung terdiam langsung menepuk bahunya pelan. "Jangan ngelamun!"
Anna mengerjap, "nggak, kok. Sok tau," balasnya.
"Lah itu, buktinya bengong." Ujar Cahya dengan nada mengejek. Anna langsung menatap Cahya sinis. "Kamu udah selesai?"
"Apanya?" tanya Anna balik dengan nada ketus.
"Idih, galak banget kamu? Hahaha. Ini kamu udah selesai ngomongnya? Maksudku, giliran aku gitu, loh, kalau kamu udah selesai," jawab Cahya.
"Udah," jawab Anna singkat.
Cahya mengangguk mengerti. "Paymentnya gimana?"
"Biasanya kayak gimana?"
"Ya udah, saya harusnya gak nanya, ya?"
"Tuh tau."
Cahya menghela nafasnya panjang. Kemudian, ia bersamaan dengan Anna juga keluar dari ruang kerja Anna. Tiba-tiba, Cahya berhenti mendadak, lalu diikuti Anna.
"Ada apa?" tanya Anna.
"Kamu beneran dateng ke sini cuman gara-gara saya?" tanya Cahya balik.
"Iya karena anda datang di weekend yang saya punya, dan anda meminta saya harus datang."
Cahya jadi memasang wajah sok imutnya. Anna malah geli dibuatnya. Ia jadi malas berurusan dengan Cahya lama-lama.
"Okay, Anna. Saya gak akan ganggu kamu di weekend lagi."
"I'll admit it as promise?"
"Sure, because this is actually promise." Mereka melangkah bersama, bahkan Anna juga menunggu Cahya selesai dengan pembayaran uang muka bersama kasir.
"Mau makan?" tanya Cahya menawarkan.
Anna menggeleng pelan, "saya mau langsung pulang aja, sih. Dibilangin saya mau istirahat," jawabnya.
"Ya memangnya kamu sudah makan siang?"
"Belum," jawab Anna sambil menggeleng. "But I'm pretty sure I'm fine, Cahya. Don't act like you care to me." Lanjutnya berterus terang.
"Ya saya memang peduli sama siapapun, salah satunya kamu."
Anna mendecih, "buaya," gumamnya kemudian.
"Saya dengar ya kamu ngomong apa," ujar Cahya meledek. Keduanya tertawa pelan. "Ini saya sedikit merasa gak enak, loh, udah ganggu waktumu hari ini. Beneran gak mau makan siang bareng?" tanya Cahya lagi.
Anna menggeleng. "Iya, beneran."
"Saya beliin minuman?"
"Nggak usah."
"Makanan? Dibawa pulang aja," Cahya masih terus berusaha.
Anna menatap Cahya intens sekarang. "Udah berapa kali saya bilang nggak usah? Ini beneran." Sikapnya di mata Cahya sedikit menyeramkan. Menurut Cahya, Anna sudah marah. Cahya yang akan mengalah.
"Baiklah. Terima kasih banyak, Anna."
"Ya."
"Oh ya, gini aja. Ibumu boleh kok datang periksa dan lanjut terapi ke rumah saya. Gratis. Semua perlengkapannya sama kayak di rumah sakit. Walaupun gak selengkap itu, tapi saya rasa untuk pengobatan ibumu masih bisa, kok." Cahya menjelaskan.
"Oh, terima kasih untuk bantuannya juga."
"Hitung-hitung sebagai manusia ya saling membantu saja."
"Hahaha, iya."
"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Cahya.
"Ibu baik dan sehat," jawab Anna singkat.
"Lututnya sudah membaik, kan?"
"Sedikit, Dok. Asal ibu rutin terapi pengobatan, ya lututnya lebih membaik, gak sering sakit lagi," jelas Anna.
Cahya mengangguk paham. "Titip salam untuk ibu, ya."
"Iya, terima kasih, Dok."
Cahya berdecak, "dibilang jangan panggil saya dokter di luar rumah sakit. Panggil nama saya aja, ngerti?"
"Iya-iya," jawab Anna.
Cahya tersenyum sambil mengacak-acak rambut Anna. Setelah itu, ia pamit dan beranjak dari sana. Begitu juga dengan Anna yang memilih pulang dengan perasaan kesal karena sikap Cahya yang menurutnya tidak jelas.
Dari jauh sana, seseorang setia mengamati keduanya sejak tadi. Tatapannya seperti macan yang mengamati pergerakan musuhnya seakan ingin menyerang yang satu.
oo0oo
siapa ya yang ngeliatin??
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice
FanfictionSella dan Sendra bukanlah pasangan suami-istri sempurna. Sikap Sendra yang begitu dingin, membuat Sella enggan kembali berjuang agar hubungannya dengan sang suami membaik. Pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Namun, Sella memiliki pemikira...