Chat

262 32 0
                                    

Keesokan harinya, Anna juga belum membalas pesan dari Sendra. Semalam ia lupa karena bersamaan dengan ojeknya yang sudah tiba dan Anna mengembalikan ponselnya ke dalam tas. Sedangkan di lain tempat, tepatnya di mana Sendra berada, lelaki itu sedikit gelisah karena tak kunjung mendapatkan balasan. Ia memikirkan alasan Anna tak kunjung membalasnya berulang kali.

Saat ponselnya berbunyi, Sendra akan terus memeriksanya. Meskipun tak selalu pesan penting. Biasanya hanya notifikasi aplikasi. Lalu, ponselnya kembali berbunyi. Matanya berbinar, penantiannya berhasil. Anna membalas pesannya.

Anna

maaf baru buka hp sen
udh aku save👌🏻

Wah, terima kasih🤩

jangan lebay gtu hehe

Sendra mengamati percakapannya. Terlihat kaku dan monoton sekali. Respon Anna juga terbilang biasa. Ya, itu wajar. Menurut Sendra, untuk apa Anna membalasnya dengan semangat dan antusias seperti dia? Anna tak menaruh perasaan padanya, dia-lah yang mencintai Anna.

Anna, kamu bisa ke kantorku?

hah? mau ngapain?

Ada sesuatu yang perlu dibicarakan

tapi maaf, sen.
hari ini aku gak bisa.

Ok, gimana besok?

ok.

Sendra memanyunkan bibirnya. Ia merasa sedih karena Anna cukup cuek. Ekspresi Sendra saat ini bahkan membuat heran sekretarisnya, Johnny.

Setelah itu, Sendra menyenderkan tubuhnya dengan kursi kebesarannya. Ia memejamkan matanya sebentar. Helaan nafas yang keluar menandakan betapa lelahnya hidup ini.

"Pak," panggil Johnny.

"Hm?" Sendra hanya berdeham.

"Sebentar lagi ada meeting," ujar Johnny meningatkan.

"Ya, saya tahu," jawab Sendra singkat membuat Johnny paham dan mundur.

******

Anna sedang menemani sang ibu periksa ke rumah sakit. Kondisi rumah sakit hari ini terbilang ramai. Banyak orang sakit berlalu-lalang. Ibunya Anna tidak sakit parah. Namun, untuk memastikan kestabilan kesehatannya, beliau harus memeriksakan diri ke rumah sakit. Ada masalah dengan lututnya yang mengharuskan sang ibu menjalani terapi juga.

Saat giliran Anna dan sang ibu untuk masuk, itu sangat menenangkan. Mereka sudah menunggu sejak pagi. Anna masuk ke dalam ruang periksa bersama sang ibu. Poli ini dibilang sepi juga tidak, ramai pun tidak. Walaupun terlihat longgar, tetap ada pasien yang keluar-masuk.

"Ibu Dewi Mentari?" tanya sang dokter memastikan. Lelaki jangkung berkacamata dan telinganya yang khas, jelas sekali mudah dihafal. Ibunya Anna pun juga sangat hafal.

"Iya, Dok," jawab Dewi saat sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Anna berdiri di dekatnya.

"Bagaimana kabar ibu? Sudah lebih membaik?" tanya dokter itu sambil memeriksa Dewi. Dulu, waktu Anna masih menemani sang ibu ke sini, bukan dokter ini yang memeriksanya.

"Sudah, Dok. Saya merasa senang," jawab Dewi lagi.

"Bagus. Hati yang gembira adalah obat, Bu. Jadi, ibu harus selalu gembira, gak boleh stres."

"Tapi, kalo kayak gitu, rumah sakit sepi, dong?" celetuk Anna tanpa sadar menimbrung. "Eh, maaf-maaf. Saya ngomong sendiri," ujar Anna merasa malu.

Dokter dengan name-tag Cahya Aditia Gunawan itu terkekeh pelan. "Bisa sih, ya? Tapi, tugas dokter membantu pemulihan, karena yang benar-benar memulihkan hanya Tuhan dan pasien harus bisa mengendalikan dirinya dengan baik."

"Gak bisa gitu!"

"Kenapa?" tanya Cahya.

"Kalo orang kecelakaan, bagaimana? Mereka belum tentu bisa mengendalikan diri," ujar Anna dengan berani berdebat. Bahkan, perawat di sini sempat tercengang dengan sikap Anna. Namun, sang dokter malah tersenyum.

"Kami akan membantu pemulihan mereka semaksimal mungkin," balas Cahya.

Anna mengangguk paham. Dewi memberi kode agar Anna diam dan menjaga sopan-santunnya. "Maaf, Dok. Anak saya memang begitu padahal sudah besar," ujar Dewi merasa tak enak hati.

"Nggak apa-apa, kok. Saya suka dengan orang seperti itu," jawab Cahya sambil memeriksa lagi. Anna dibuatnya bingung. Apa maksud perkataan dokter itu?

Anna mengernyit. Namun, alangkah lebih baik jika ia tak menghiraukan ucapan dokter itu. Anna langsung sibuk kembali dengan ponselnya.

"Sudah selesai," ujar dokter itu menyadarkan Anna jika pemeriksaan sang ibu sudah selesai. Sang ibu bangun dari ranjang rumah sakit dan setelah itu dituntun Dokter Cahya sampai ke kursi konsultasi. Anna menyusul duduk di samping sang ibu.

Tatapan Cahya pada Anna awalnya tidak bersahabat. Namun, kemudian Cahya tersenyum ramah baik kepada Anna dan ibunya. Cahya menjelaskan perihal kondisi kesehatan ibunda Anna. Setelah proses konsultasi selesai, ibunda Anna pamit mohon undur diri. Mereka berjabat tangan, termasuk Anna.

"Dampingi selalu ibumu," ujar Cahya pada Anna.

"Dokter harus selalu profesional dan bekerja dengan hati yang tulus," balas Anna mengalihkan topik.

Cahya kembali tersenyum. Ia merasa tersentuh dengan ucapan Anna. "Terima kasih, Tuan Putri."

Anna melepaskan tangannya cepat. Ia berdecak. Wajahnya terlihat masam. "Bisa-bisanya," cibirnya kesal, kemudian pergi.

Cahya duduk setelah Anna dan ibunya keluar dari ruangannya. Tak sadar ada senyum tipis yang terukir di wajahnya. Ia tertarik dengan sifat Anna yang menggemaskan di matanya. Jarang-jarang ada perempuan blak-blakan dan sedikit tak punya sopan santun di hadapannya.

 Jarang-jarang ada perempuan blak-blakan dan sedikit tak punya sopan santun di hadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahya.

The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang