Calm Down

116 21 7
                                    

Frederika memang sepertinya sengaja tetap memilih bertahan di rumah besar yang diberikannya kepada Sendra dan Sella sebagai kado pernikahan. Ia sengaja karena memiliki maksud tersembunyi di baliknya. Bukan tanpa sebab, Frederika hanya ingin selalu mendekatkan Sella dan Sendra dengan berbagai cara. Namun, pada kenyataannya yang terjadi adalah putra bungsunya itu masih egois. Frederika sebenarnya tidak habis pikir dengan Sendra, tetapi melawannya sama saja seperti medan magnet yang saling tarik menarik. Keduanya tidak ingin ada yang kalah.

Sendra juga sebenarnya tidak ingin pulang ke rumah itu, tetapi tidak mungkin ia lakukan jika ingin rencana perceraiannya tidak tercium siapapun apalagi orang tuanya. Itu sebabnya Sendra tetap pulang untuk menutupi segalanya dan tetap bersikap biasa saja di depan orang tuanya.

Kini dirinya hanya merenung terdiam di dalam kamar setelah pulang kerja. Sella tahu jika tentu saja suasana rumah hari ini akan lebih suram dibandingkan kemarin karena selain Sendra yang diselimuti kemarahan, ada orang tua Sendra juga yang masih bertahan di sini dan sama keras kepalanya dengan Sendra. Sella juga sekarang tahu, jika sikap Sendra yang saat ini kemungkinan besar merupakan bentuk perlawanannya terhadap orang tuanya. Namun, Sella tidak bisa membenarkan apa yang sudah dilakukan Sendra.

Sella masuk ke dalam kamar. "Sen, orang tuaku datang," ujar Sella seraya masuk dan menutup pintu. Sendra tengah berbaring dan memejamkan matanya, tetapi ia tidak tidur. Pengumuman Sella tadi sepertinya tidak dihiraukan Sendra. Lelaki itu tetap berbaring dan hanya berdeham sebagai respon.

"Sen..."

"Ya udah kamu dulu nanti aku nyusul," jawab Sendra.

"Orang tuaku gak akan lama di sini, kamu kan tahu itu. Timbang keluar sebentar kenapa, sih?" balas Sella terpancing. "Aku gak suka kalau ada orang yang gak bisa sopan sama orang tuaku," lanjut Sella mulai kesal.

Sendra membuka matanya, lalu beranjak dari kasur sembari berdecak. Mereka berdua saling melempar tatapan kesal satu sama lain. Sejujurnya, mungkin Sella sudah sering kesal dengan Sendra. Namun, entah kenapa dirinya baru berani bersikap seperti ini saat ini. Sendra kemudian melangkah keluar untuk menemui mertuanya yang berada di lantai bawah dan tengah berbincang dengan orang tuanya. Hanya berbasa-basi, duduk sebentar disusul Sella, lalu tidak lama Sendra kembali ke kamar.

"Hmm, kita ini selalu tambah usia, tambah tua. Tidak ada yang tahu umur sampai kapan, iya kan?"

"Mama apaan, sih? Jangan bilang kayak gitu," decak Sendra.

"Ya memang, kan? Padahal para orang tua di sini juga tidak sabar ingin merasakan momong cucu. Betul ya, Jeng?"

Ibunya Sella terkekeh mendengarnya.

"Mama..."

"Apa? Mama kan cuman bilang yang baik buat kalian, tapi juga baik buat kami. Jadi ya baik untuk semuanya," jelas Frederika

"Mam—"

Tangan Sella terulur untuk menggenggam tangan Sendra. Lelaki itu pun langsung menoleh menatap Sella yang menggeleng pelan. Tujuan Sella untuk mengingatkan Sendra betapa pentingnya menahan emosi kali ini. Ia tidak ingin orang tuanya juga melihat pertengkaran Keluarga Edelweis yang sebenarnya.

"Nggak bisa," desis Sendra, tetapi Sella tetap menggeleng.

"Tahan," bisik Sella menanggapi.

Frederika berdeham. "Hmmm, tuh kan. Sudah kelihatan benih-benih cintanya," celetuk Frederika melirik Sella dan Sendra. Kemudian disusul dengan tawa dari orang tua Sella dan juga suaminya.

Sendra hanya berdecak pelan dengan tatapan tidak suka kepada ibunya. Segala sikapnya hari ini harus dikendalikan sebisa mungkin dan demi menahan emosinya, Sendra harus punya alasan untuk pergi. Tidak mungkin ia akan bertingkah tidak sopan kepada orang tua Sella.

"Saya mohon izin untuk undur diri dulu. Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan," ujar Sendra beralibi.

"Sen, pekerjaan apa, sih? Apa gak bisa ditinggal sebentar aja untuk kumpul keluarga?" balas sang ayah mencoba menahan Sendra agar tidak pergi.

"Mohon maaf semuanya, saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini karena besok adalah deadline-nya. Sebagai pimpinan saya juga tidak bisa seenaknya, kan?" jelas Sendra seakan menantang sang ayah di balik ucapannya.

Ayahnya Sella mengangguk mengerti. "Iya, Sen. Tidak apa-apa, kok. Maklum, namanya juga kerjaan dan saya tahu kamu sangat sibuk sekarang," balasnya mengizinkan Sendra untuk pergi.

"Terima kasih, Pa."

Ayahnya Sella mengangguk. Setelah itu, barulah Sendra beranjak dari ruang tamu dengan wajah masam.

Untuk apa acara kumpul keluarga yang tidak berguna ini.

Toh juga topik yang dibahas tidak berguna.

*****

Hari sudah mulai larut. Orang tua Sella sudah pulang sejak tadi dan kini Sella sudah masuk ke kamar. Jika seperti ini, Sella dan Sendra tentu saja berada di satu kamar yang sama. Namun, kasur mereka berbeda. Di bawah tempat tidur terdapat kasur gulung untuk Sendra tidur. Kadang Sella yang tidur di bawah, tetapi juga kadang Sendra. Malam ini, Sendra lah yang tidur di bawah. Hal ini sudah lama berlangsung tanpa sepengetahuan siapapun.

Sendra sudah berbaring di atas kasurnya sendiri. Sedangkan Sella masih duduk membaca buku agar bisa tidur. Namun, tiba-tiba pikirannya kembali membawanya untuk mengingat apa yang telah dilaluinya, apa yang perlu dikatakannya, dan apa yang akan direncanakannya.

"Sen," panggil Sella.

Ternyata Sendra belum tidur. Lelaki itu menyahut dari bawah dengan sebuah dehaman.

"Kamu belum tidur?"

"Kalau aku masih jawab berarti aku masih melek," jawab Sendra membuat Sella mengangguk. "Apa? Aku mau tidur," lanjut Sendra.

"Aku mau bilang, kalau kamu menghadapi orang tuamu, tolong kendalikan emosimu. Jangan terlalu dikuasai amarah. Mereka juga orang tuamu."

Sendra tidak menjawab.

"Apalagi kalau ada orang tuaku," lanjut Sella.

"Hm, ya." Hanya itu tanggapan Sendra.

"Sen, sama satu lagi. Sebenarnya aku cuman mau bilang kayaknya perceraiannya ini kita tunda dulu sampai mama kamu dikemo. Bagaimana?"

Sendra menyamping, membelakangi tempat tidur Sella.

"Harus banget?"

"Nggak mungkin kita nekat kalau mama kamu belum bisa stabil kesehatannya."

Sendra terdengar mendengus kasar. "Toh juga kalau aku bantah, kamu pasti akan nolak, kan? Terserah kamu."

Sella hanya diam tidak menanggapi itu.

"Sen, kalau mama kamu bahas soal cucu, kamu gak perlu marah, cukup diam saja. Kita juga gak akan mengikutinya, kan?"

"Kalau kita diam aja, dia akan ngerasa menang," jawab Sendra.

"Tapi mamamu itu kalau dilawan juga gak akan kalah, Sen. Bu Frederika itu orang yang cukup keras, sama kayak kamu," ujar Sella.

Sendra berdecak sebal, "kamu nih. Nggak usah kayak gitu, lah. Dasar aneh," celetuk Sendra tidak suka. "Intinya aja, Sel. Kita tunda perceraian seperti yang kamu mau biar mama gak kaget, kan?"

Sella mengangguk.

"Ya udah, terserah."

"Hmm, aku kasihan sama mama," lirih Sella seraya menarik selimut dan baru ingin berbaring.

"Terus kalau kamu kasihan, kamu bisa apa? Tetap bertahan sama aku?" tanya Sendra ketus. Pertanda jika ternyata masih bisa mendengar ucapan Sella.

Sella menggeleng. Kali ini ia berani terbuka dan mengutarakan segala isi hatinya selama ini.

"Aku udah gak mau menyiksa hidupku lagi, Sen. Bahkan sekalipun kamu mau dekat dengan Anna lagi, aku gak apa-apa. Itu kan hakmu," ujar Sella membuat Sendra membuka matanya lebar. Sella mengatakannya terdengar begitu pasrah dan ikhlas.

"Kamu...kamu kenapa bisa bilang begitu?"

Sella yang sudah berbaring pun hanya bisa tersenyum meskipun Sendra tidak akan bisa melihatnya.

"Aku tau mau sampai kapanpun, cuman dia yang bisa membuka hatimu," ujar Sella membuat Sendra sedikit tercekat.

The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang