Is This The End Of It?

149 15 4
                                    

Mediasi dilakukan secara berulang dan pada hasilnya hakim tetap ketuk palu menetapkan perceraian mereka yang kini dianggap sah. Setelah proses yang cukup lama dan selalu ditunda, Sendra dan Sella resmi bercerai. Bersama dengan pengacara masing-masing, mereka tidak banyak membantah dalam keputusan hakim. Namun, ibunda Sendra yaitu Frederika langsung menyusul ke kantor pengadilan negeri setelah mendengar kabar perceraian putra bungsunya itu dan menuntut hakim supaya membatalkan keputusan tersebut.

"Mama, cukup!"

Sendra membentak sang ibu karena tingkah kekanak-kanakan Frederika di tempat umum seperti ini. Bahkan orang tua Sella saja hanya diam melihat kenyataan pahit yang akan dihadapi putrinya itu.

Frederika dengan wajah yang sudah banjir air mata menoleh menatap sang putra. "Kamu...."

"Mama gak akan bisa membatalkan keputusan ini karena baik aku maupun Sella sudah sepakat untuk cerai."

Frederika dengan amarahnya mendekat dan langsung meraih ujung kerah kemeja putranya.

"Siapa yang suruh kamu cerai?! Siapa?! Kenapa kamu merencanakan ini semua tanpa sepengetahuan mama, hah?! Mama kecewa sama kamu. Mama kecewa, Sendra!" Amuk Frederika sembari menangis. Sendra hanya memaku diam.

"Ma, sudah," ayahnya Sendra menarik sang istri menjauh dari Sendra.

"Harus apa mama agar kamu nurut? Mama hanya minta agar kamu nurut sama mama."

Tidak buka suara lagi, Sendra langsung meninggalkan tempat tanpa pamit bahkan dengan rasa kesal yang sengaja dipendamnya.

Melihat Frederika lemas, Sella mendekat. Ia hanya ingin mengatakan sesuatu agar semuanya lurus dan tidak ada lagi perdebatan.

"Mama, ini bukan hanya keinginan Sendra, tapi juga Sella yang menginginkan perceraian ini," ujar Sella tenang.

"Sella, kenapa kamu melakukan ini?"

Sella tersenyum tenang. "Tidak selamanya pernikahan itu memberi kebahagiaan. Ada juga yang sebatas memberi pelajaran saja," jelasnya.

"Lalu, selama ini kamu yang mana?" tanya Frederika.

Sella kembali tersenyum, "yang kedua," ucapnya tenang.

oo0oo

"Jangan bodoh kamu, Sen. Mama masuk ICU saat ini."

Ucapan sang kakak lewat telepon sama sekali tidak membuka pintu hatinya untuk bersikap baik kepada keluarganya. Menurut Sendra, mau seperti apapun tidak akan ada yang berpihak kepadanya.

"Sen, kamu dengar kakak, kan?"

"Iya dengar. Nanti aku ke rumah sakit. Maaf ya, Kak. Karena aku, semua jadi berantakan."

"Sekarang kamu baru sadar?"

Terdengar suara helaan nafas James yang mungkin lelah dengan apa yang terjadi. Bahkan panggilan diputus sepihak oleh James.

"Ada apa, Sen?"

Sendra masih berada di pengadilan setelah sidang dan harus mengurus beberapa hal di sana bersama Sella. Sendra hanya menggeleng meresponnya.

"Mama kenapa?"

"Kamu gak usah pikirin mamaku, okay? We just divorce, you don't need to act like you care about my family anymore. You better go back home and forget about our past story."

Ucapannya terlalu menusuk Sella, tetapi ia sudah biasa dengan itu.

"Mmm.....Sen?"

"Hm?"

"I hope you can fly like a butterfly from now on."

Sendra mengerutkan keningnya.

"Thank you for everything you give to me even that just a bitter and tears for me," lanjut Sella seraya tersenyum.

Sendra menunduk, lalu ia membalas, "terima kasih juga, Sel." Singkat, tetapi Sella senang bisa mendengarnya, ya meskipun untuk terakhir kalinya.

"Aku harus pulang ke rumah orang tuaku. Kamu jangan lupa, ya, jenguk mama. Jagain mama, ya? Aku tahu kamu anak yang baik. Nanti juga akan aku sempatkan waktu untuk jenguk mama. Salam untuk keluargamu, ya."

Sendra mengangguk, "thanks."

The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang