Sendra sudah dalam perjalanan menuju apartemen Sella. Ia mendapat pesan semalam dari Sella untuk datang ke undangan pertunangan sepupu Sella. Biasanya, Sendra akan menolaknya, seperti yang diperkirakan Sella. Sebenarnya, Sella menghubungi Sendra agar tidak ada kesalahpahaman nantinya apabila ditanyakan orang tuanya. Setidaknya, Sella sudah mengatakan pesan sang ibu pada Sendra, meskipun ia tahu anak itu tidak akan datang. Namun ternyata, Sendra mengejutkannya dengan mengiyakan undangan itu. Tidak biasanya ia begini. Sella tidak dibuatnya jatuh hati lagi, hanya saja ini membuatnya terus berpikir dengan alasan di balik ini semua. Ia tahu, pernikahan mereka tak wajar. Tapi, bukan berarti hal-hal seperti ini tak akan terjadi.
Sendra terlihat begitu tampan dengan balutan kemeja putihnya yang terlihat serasi dengan jas serta celana abu-abu buatan desainer terkenal. Sedangkan Sella terlihat begitu cantik nan anggun dengan gaun merah mudanya. Mereka nampak serasi.
"Sayang!" sambut Devita saat putri dan menantunya tiba. Mereka berpelukan. Sendra memberi salam pada ibu dan ayah mertuanya. "Ibu pikir, Sendra gak akan datang. Terima kasih, Nak." Devita menepuk bahu Sendra.
Sendra tersenyum membalasnya. "Maaf, Ibu, Ayah. Di lain kesempatan, akan saya usahakan jika ada waktu luang untuk pergi berkunjung."
"Hoho, santai saja, Sen. Kami tahu betapa sibuknya kamu mengurus anak perusahaan ayahmu. Baik, ayo kita masuk! Jangan di sini saja, masa tamu penting berdiri saja di sini," ujar ayahnya Sella. Mereka pun masuk. Setelah masuk, orang tua Sella mengantarkan mereka kepada pemilik acara. Kemudian, mereka mengobrol bersama.
Tadinya, keluarga ini masih bersama-sama. Namun, saat ini orang tua Sella sudah berpisah dengan ayah bersama menantu, sedangkan ibu bersama putrinya. Mereka membanggakan anak-anaknya masing-masing.
Di perkumpulan laki-laki, ayahnya Sella dengan bangganya memperkenalkan Sendra. Menjelaskan betapa hebatnya sosok Sendra ini apalagi dalam dunia bisnis. Ia juga menjelaskan jika putra dan putrinya dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada masalah apa-apa.
"Itu hanya rumor," jawab ayahnya Sella menanggapi salah satu pertanyaan buruk yang mengarah untuk Sendra dan Sella.
"Saya juga pikir gitu. Biasa, lah, orang bikin berita juga karena butuh uang. Iya, kan?" Ayahnya Sendra hanya tertawa mengiyakan. Well, sebenarnya Sendra merasa lebih nyaman dengan keluarga Sella. Ayah Sella tak pernah menyudutkan Sendra sedikit pun. Jika saat ini Sendra bersama ayahnya sendiri, ia pasti akan kena marah karena citranya kurang baik di depan publik selama ini. Namun, ayahnya Sella menanggapinya begitu santai. Dengan alasan itulah yang membuat Sendra kurang tega untuk meninggalkan Sella.
Sedangkan di lain tempat, ibu-ibu juga tak mau kalah dengan bapak-bapak. Mereka juga membicarakan banyak topik, salah satunya tamu undangan istimewa ini. Sella menjadi pusat perhatian. Penampilannya yang cantik dipuji, sikapnya yang anggun juga dipuji dan pekerjaannya serta posisi Sella di perusahaan juga menjadi bahan perbincangan. Ibu-ibu tidak berhenti di situ saja. Orang-orang ini akan terus membicarakan Sella tak ada habisnya.
"Saya tahu, rejeki orang-orang itu berbeda-beda. Tapi, saya rasa, Sella ini perlu program, deh. Apakah akan terus bertahan tanpa anak? Ayolah, siapa, sih, pasangan yang gak mau punya anak?"
Ibu-ibu yang menggunakan perhiasan emas banyak itu menyahut. "Iya, benar sekali! Atau jangan-jangan kalian ini memang sengaja begini-begini saja menunggu takdir Tuhan?"
Sella tersenyum menanggapinya. "Itu hak kami untuk memilih opsi," ujarnya tenang.
"Wow, bijak sekali."
"Sel, saya dengar hubunganmu sama Sendra lagi tidak baik, ya?" tanya tantenya.
Ada ibu-ibu saling berbisik. "Suaminya itu sibuk banget, loh."
"Sibuk apa sibuk?"
"Kasihan saya sama Sella. Punya suami kayak Sendra begitu. Kalau saya, sih, saya gak akan betah."
"Sama."
Walaupun mereka berbisik, Sella masih bisa mendengarnya. Ia berdeham. "Begini, hubungan saya dengan suami saya baik-baik saja. Ibu-ibu tak perlu cemas," ujarnya.
"Iya, betul sekali. Ibu-ibu ini tenang saja, anak kami pasti bisa mengurus masalahnya sendiri." Devita menimpal sambil merangkul Sella.
Setelah berbincang, Sella ijin untuk pergi ke kamar mandi. Itu sebenarnya hanya alibi karena ia tidak pergi ke sana, melainkan ia melangkah menuju taman yang sepi. Lampu hias yang tak terlalu banyak, tapi cukup untuk menerangi taman ini. Menghindar dari keramaian seperti tadi membuat Sella merasa lelah. Berlari ke tempat sepi seperti ini membuatnya merasa lebih tenang. Interaksi sosial ini memang cukup menyulitkannya. Ia betah berjam-jam di taman seperti ini, buktinya ia tak sadar sudah hampir sejam di sini. Rasanya ia tak ingin kembali bertemu orang-orang tadi.
Sella sedikit tersentak saat sebuah jas tersampir di bahunya. Ia mendongak dan mendapati Sendra yang menyampirkan jasnya. "Aku gak perlu jas ini," ujar Sella.
Sendra mendengus. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Gaunmu terbuka gitu, apa tidak kedinginan?" balasnya bertanya.
Sella terdiam. "Kalau kamu kedinginan, kamu bisa sakit," lanjut Sendra.
"Kamu gak perlu peduli seperti itu," jawab Sella lalu menyeringai.
Sendra menoleh. "Saya peduli karena saya sayang orang tuamu."
"Mau sampai kapan kamu jadikan alasan pernikahan ini karena orang tua?" tanya Sella.
"Sampai semuanya berakhir."
"Nggak jelas," cibir Sella.
"Mamaku sakit lagi, kan?" tanya Sendra.
"Apa maksudmu?" tanya Sella balik.
"Aku tahu, kamu jadi wadah menumpahkan curahan hatinya."
Sella menunduk. "Iya," jawabnya pelan. Tidak ada balasan dari Sendra. Ia malah bergumam. Hening sejenak, lalu Sendra bertanya.
"By the way, mau pulang?" tanya Sendra.
"Ya," jawab Sella singkat.
"Ya sudah, ayo! Jasnya pakai saja," ujar Sendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice
FanfictionSella dan Sendra bukanlah pasangan suami-istri sempurna. Sikap Sendra yang begitu dingin, membuat Sella enggan kembali berjuang agar hubungannya dengan sang suami membaik. Pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Namun, Sella memiliki pemikira...