Sikap Sendra semalam bukan tanpa sebab. Pasalnya, ia sudah sangat lelah dengan tingkah ibunya yang selalu memaksanya untuk ini dan itu. Saat ini Sendra sadar, bahwa orang lain sebenarnya tak berhak mengatur-atur hidupnya. Sejak kecil, Sendra terbiasa hidup ditekan untuk mengikuti keinginan orang tuanya. Masalahnya, Sendra merasa ini sudah keterlaluan dan memaksa.
Pernikahan ini Sendra iyakan karena Frederika saat itu divonis mengidap kanker stadium 3 dan sampai detik ini masih menjalani pengobatan. Semua orang menganggap Frederika ini kuat sebab bisa berjuang untuk terus melawan sakitnya dan memuji Sendra sebagai anak yang penurut.
Terlalu penurut, sampai ia harus rela mengorbankan kebahagiaannya.
Sella memang perempuan yang sangat baik dan lemah lembut. Dia pintar, terlahir di keluarga kaya raya dan anggun. Memang seharusnya Sendra bahagia dapat mendapatkan Sella sebagai istrinya. Sayangnya, namanya bukan cinta, seberapa besar usahanya tidak akan berhasil. Sendra juga mencoba bagaimana caranya untuk menerima Sella dalam hidupnya. Namun, yang ada dia malah mengingat ketidakadilan dalam hidupnya. Dia kembali mengingat bagaimana orang tuanya memaksa dia menikah. Cinta pertamanya, masih saja bertahan di dalam hati.
"Sendra!"
Ayahnya datang dan langsung berteriak di rumahnya. Sendra yang hanya berdiam diri langsung kena tampar berulang kali oleh sang ayah .
"Kamu ngerti gak mamamu itu lagi sakit?!"
Plak!
Sakitnya tamparan ini sudah biasa bagi Sendra.
"Kenapa harus kamu buat dia jatuh sakit lagi?! Kamu harus lihat mamamu di rumah sakit!"
Plak!
"Istrimu yang menemani mama. Kamu sebagai anak ngapain aja, hah? Kenapa bukannya nyusul ke sana?!"
Kali ini ayahnya memukul kepala Sendra. Amarahnya seperti tanpa ampun.
"Mamamu cuman ingin kebahagianmu. Dia cuman ingin kamu hidup bahagia bersama istrimu!"
Plak!
Sendra langsung berdiri. Bersamaan dengan datangnya kakaknya Sendra untuk menahan sang ayah. "Pa, udah!"
Ekspresi wajah Sendra sangat datar.
"Apa kata papa? Kebahagiaan?" celetuk Sendra tidak tahan.
"Iya, apa masih kurang selama ini pemberian orang tuamu untuk kamu?!" balas sang ayah masih dengan amarah yang menggebu-gebu. "Papa baru tau sifatmu ini. Apa pantas disebut sebagai anak?"
"Papa, udah..." Kakaknya Sendra terus mencoba menahan ayahnya.
"Sekarang Sendra tanya, apa selama ini papa dan mama pantas disebut sebagai orang tua yang berhasil?"
"Sendra..." Kakaknya juga berusaha menahannya.
Sendra mendengkus, "papa dan mama harus tahu kalau selama ini aku gak bahagia karena gak bisa sebebas kakak! Kalian beri kesempatan kakak untuk mengejar mimpinya! Kalian gak menjodohkan kakak ke orang lain. Tapi kenapa harus aku? Kenapa aku gak bisa merasakan kebebasan?" protesnya membuat sang ayah terdiam, begitu juga kakaknya. Semua yang dijelaskan Sendra merupakan sebuah fakta.
"Sendra, bukan begitu," kakaknya kembali bersuara.
"Sudahlah, Kak! Kalian semua gak ngerti rasanya hidup seperti boneka!" Sendra marah dan tak peduli lagi apakah dia sudah jadi anak baik atau durhaka. Setelah melakukan itu, ia langsung meraih jaket dan keluar dengan mobilnya.
******
Malam ini, Anna tak bisa tidur. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaannya, ia malah jadi sulit tidur padahal Anna sudah berusaha sebisa mungkin agar tidur cepat. Anna bahkan sampai menyiapkan susu untuk membantu menenangkannya. Namun, tak berhasil juga. Kemudian Anna memilih untuk duduk sembari membaca buku barangkali bisa membantunya untuk tidur.
Ponsel Anna tiba-tiba berdering. Anna langsung meraihnya sambil membatin siapa yang menelponnya malam-malam begini. Bukan malam lagi, tapi sudah dini hari. Ini sudah pukul 1 pagi.
Sendra.
Nama itu yang muncul di layar ponselnya. Anna bertanya-tanya, ada apa dengan Sendra di jam segini sampai menelponnya?
"Halo."
Anna tak langsung mendapatkan balasan. Yang ia dengar malah isak tangis Sendra. Mata Anna seketika membelalak. Ia terkejut dengan respon Sendra.
"Sendra, kamu kenapa?"
Sendra masih menangis.
"Sendra, halo?"
"Anna..." panggil Sendra dari seberang sana dengan suara parau.
"..."
"Anna..."
"Sendra? Kamu kenapa, sih? Jawab, dong!"
Sendra malah terkekeh pelan masih dengan isakannya.
"Nggak jelas banget. Kamu kenapa nelpon aku jam segini?"
"Kamu lucu ya kalo lagi ngomel."
"Sen..."
"Kamu juga kenapa belum tidur jam segini?"
"Aku lagi susah tidur."
"Sama."
"Sendra, kamu kenapa nangis?"
"Aku nggak bisa bilang kalo aku baik-baik aja."
"Sendra?"
"Aku capek banget, Anna. Kamu tahu kan kalau aku selalu capek sama kehidupanku?"
"..."
"Harusnya aku tetep jadi culun aja, kan?"
"Maksudmu apa sih, Sen?"
"Anna, aku udah nggak tau lagi harus gimana dan mau ngapain."
"..."
"Aku cuman pengen lari dari kenyataan ini, dari rumahku, dari keluargaku. Bahkan kalau bisa lari dari kehidupanku."
"Sendra, kamu dimana?"
"Di pinggir jalan. Aku nggak tau mau ngapain, nggak tau mau kemana."
"Aku shareloc alamat kosanku. Kamu bisa datang sekarang. Cerita sama aku yang jelas, Sendra."
Sendra terkejut ketika Anna mengatakan itu dan tak lama mengirimi alamat tempat tinggalnya. Ia tak mengira kalau Anna akan memberikan alamatnya dan bersedia menemuinya untuk menjadi pendengar. Sejak dulu memang hanya Anna yang bisa mendengar dan mendukungnya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Choice
FanfictionSella dan Sendra bukanlah pasangan suami-istri sempurna. Sikap Sendra yang begitu dingin, membuat Sella enggan kembali berjuang agar hubungannya dengan sang suami membaik. Pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Namun, Sella memiliki pemikira...