16

11.2K 602 26
                                    

"Aku tahu kamu pasti gak nyaman, tapi ini ketulusanku sebagai ibunya Reva yang ingin berterimakasih karena kamu dan Dokter Akbar sudah merawat dia dengan sabar."Ucap Jia menyerahkan undangan yang bertuliskan "Welcome Reva".

Itu undangan syukuran yang diadakan Jia untuk menyambut kepulangan Reva ke rumah setelah beberapa waktu di rawat di rumah sakit. Hanya sebuah pesta kecil dan mengundang beberapa kerabat dekat dan mengundang Irene juga Akbar atas permintaan kecil Reva yang ingin dipertemukan kembali dengan dua dokter baik yang sudah merawatnya sepenuh hati.

"Aku harap kamu datang, ini juga permintaan Reva. Aku rasa dia bakal senang Dokter nya juga datang. Tapi kalau kamu keberatan yah, lupain aja." Ucapnya, ada kecanggungan pada ritme bicaranya.

"Makasih undanganya" jawab Irene singkat, sebuah jawaban ambigu yang entah iya atau tidak.

"Yaudah, aku pamit ya. Maaf ganggu waktu kamu. Semangat Kerjanya Ren" Jia lantas berlalu setelah memberikan tepukan kecil pada bahu Irene.

Wanita itu menghela nafas panjang, ditatapnya surat undangan yang Jia berikan. Ia pasti akan merasa tidak nyaman jika berada disana, banyak orang dari bagian masa lalu pahit yang terus berusaha ia kubur dalam-dalam pastinya juga ada disana.

"Kamu datang?" Suara Akbar mengejutkannya secara tiba-tiba.

"Iya kan ini aku datang" jawabnya dengan polos, yang sontak mengundang tawa kecil milik Akbar.

"Kalau itu aku tahu. Yang ku maksud itu kamu datang ke Welcome Party nya Reva?" ia mengoreksi ucapannya sembari tangannya menunjuk invitation card yang tengah Irene pegang.

"Oh...hmmm, gatau. Kalau Dokter? Datang? Dokter kan diundang juga" ucapnya mengalihkan pembicaraan.

"Aku datang, kan diundang." jawab Akbar tegas.

"Menurut Dokter aku datang atau gak?" ada keraguan tersemat di wajahnya. Mungkin meminta pendapat Akbar adalah hal yang tepat untuk dilakukan. mengingat ia seseorang yang bijaksana dan bisa bersikap netral.

"Kalau mau ngambil keputusan jangan berpatokan sama pendapat orang lain. Yang utama itu diri kamu sendiri." seperti yang diduga dari Akbar, Irene sudah menduga jawaban semacam itu mengudara dari bibir Akbar.

Irene bungkam, mungkin lebih baik dia tak usah datang. Tapi lagi-lagi dia bimbang, hanya karena Jia bagian dari masa lalu pahitnya, ia mengabaikan rasa sukanya pada bocah bernama Reva itu, lagipula tak ada alasan untuk membenci bocah menggemaskan sepertinya.

"Tapi...kalau minta saran. Aku saranin sih datang, yah.. walaupun cuma sekedar duduk sebentar buat ketemu Reva. Lagian gak baik menolak undangan, kapan lagi bisa ketemu Reva, kamu kan suka banget sama anak itu" Khas seorang Akbar, tak pernah memberi nasehat tanpa sebuah solusi yang tepat.

Terbukti dari hati kecil Irene yang mengiyakan saran dari pria itu. Benar kata Akbar, tak ada salahnya Irene mampir sebentar sekedar bertemu Reva, meskipun dia bertemu dengan Jia, pun Juna ada disana, itu tak akan merubah apapun. Pendiriannya sudah tetap, meski Juna meminta kesempatan kedua pun sudah dapat dipastikan tak akan pernah ia berikan. Anggap saja kedatangannya ke pesta itu merupakan suatu pembuktian bahwa ia sudah baik-baik saja dan sudah berdamai dengan masa lalu, bahwa baik Jia maupun Juna sudah tak lagi mempengaruhi pikirannya.

***

At Reva's Welcome Party.

JUNA_

Aku tak menyangka bahwa Irene akan diundang oleh Jia, terlebih Irene datang bersama Dokter Akbar. Perasaanku tentu tak bisa santai, terlebih aku tahu bahwa Akbar punya rasa terpendam pada mantan istriku itu, entah Irene menyadarinya atau hanya pura-pura tidak tahu.

"Hai Rene" kuberanikan diriku menyapanya, sudah lama rasanya aku tak bertemu dengannya, terlalu sulit untuk bertemu Irene akhir-akhir ini, terlebih karena wanita itu juga enggan untuk bertemu.

Seperti yang kuduga, ia tak balik menyapa. Hanya menyunggingkan seutas senyum tak tampak tak tulus sama sekali, lalu beralih menyambut Reva yang berlarian ke arahnya. Sekilas aku berpikir bahwa Reva sangat beruntung bisa mencuri afeksi dan perhatian Irene semudah itu, lalu aku sadar bahwa Irene memang selalu menyukai anak-anak. Akan sangat bagus jika dia jadi seorang ibu, dia pasti jadi ibu yang sangat membanggakan.

"Eh Pak Doktel juga datang?" kedua alis Reva terangkat begitu menyadari bahwa Dokter Akbar juga ada disana.

"Iya dong, kan diundang sama Reva" Lantas pria bertubuh jangkung itu berlutut tepat di sebelah Irene demi menyamakan tingginya dengan badan mungil milik Reva.

"Cieee...Pak Doktel sama Bu Doktel pacalan yah.." sontak saja aku tersedak salad buah yang sedang ku makan usai mendengar ucapan ngawur Reva.

Bisa kulihat Irene dan Akbar saling tatap cukup lama lalu mereka tertawa kecil. Apa memang ada sesuatu diantara mereka yang aku lewatkan? Kurasa tempo hari hubungan mereka masih seperti rekan kerja, apa baru-baru ini mereka tambah dekat.

Rasa penasaran mengantarku pada tatapan serius yang kulempar pada mereka bertiga yang kini asik tertawa kecil karena ucapan Reva, nyatanya tak ada respon serius yang tadinya aku tunggu, baik dari Irene ataupun Dokter Akbar.

"Makin pinter yah Reva sekarang" Tukas Akbar mencubit pelan pipi Reva lantas kembali berpandangan dengan Irene sembari menyunggingkan senyum tipis. Panas rasanya melihat senyuman Akbar, terlebih Irene tersenyum lebar atas respon untuk senyuman yang Akbar lontarkan. Perasaanku semakin gelisah, aku benar-benar tak bisa berpikir jernih, rasanya aku ingin melempar bogem mentah untuk pria itu, tapi lagi-lagi aku tak punya alasan jelas.

Seolah tak menyadari keberadaanku, Reva menggandeng tangan Irene dan Akbar, lantas membawa mereka untuk bertemu dengan mamanya. Untuk sesaat, mereka terlihat seperti sepasang keluarga bahagia. Mungkin itulah gambarannya jika saja Irene tak keguguran waktu itu dan kita akan tetap jadi suami istri hingga saat ini.

Sepanjang acara berlangsung, aku selalu mencari celah untuk berbicara dengan Irene. Namun Irene seolah menyadarinya, lantas selalu menghindar. Ia bahkan enggan untuk melakukan kontak mata denganku.

Aku tahu mungkin aku terlalu terburu-buru untuk kembali mendekati Irene, wanita itu mungkin masih perlu waktu untuk berdamai dengan masa lalu, namun aku terlalu tidak sabaran untuk hanya bisa sekedar bertukar pandangan lalu tersenyum kecil seperti yang saat ini tengah ia lakukan dengan Akbar sepanjang acara.

Jujur saja, aku tak bisa merasa baik-baik saja melihat kedekatan mereka. Ada perasaan cemburu atas hal itu, aku cemburu dengan cara Irene menatap Akbar seperti tatapan yang dulu hanya ia lempar padaku, aku juga cemburu bagaimana cara Irene berbicara pada Akbar dengan suaranya yang lembut dan juga panggilan "Mas" tersemat untuk Akbar. Semua hal yang kini aku saksikan dan Irene lakukan pada Akbar, dulunya adalah milikku.

Masih ada rasa tidak rela yang sangat besar untuk membiarkan pria lain mendekati Irene, terutama jika itu Akbar. Karena bagaimanapun Irene masih menjadi satu-satunya wanita yang aku cintai dan sayangnya aku terlalu terlambat menyadari itu hingga akhirnya perpisahan datang lebih dulu dalam hubungan kami.

***

FYI sebenarnya tuh cerita ini udah pernah aku up sampai tersisa sekitar 3 chapter lagi, tapi mau aku revisi total. Sepanjang revisi cerita, aku makin kesal sendiri sama Juna, pengen aku jitak aja raasanya. 

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang