"Hanya diri sendiri yang mampu melawan rasa takut dalam jiwa, dan mencoba memulai cerita baru dengan tokoh yang baru adalah caraku untuk melawan perasaan takut yang terus membayangi hidupku. "
***
"Aku tahu kita dekat belum lama ini, tapi aku sudah cukup lama memperhatikan kamu. Aku harap kamu bisa memikirkan baik-baik, gak perlu buru-buru, karena aku ahli dalam menunggu"
Kalimat itu terus saja terngiang dalam benak Irene sehari belakangan ini, ia tak pernah menyangka bahwa Akbar akan mengajaknya menikah dalam waktu secepat ini, dan ia sudah berjanji akan memikirkan hal itu dengan serius.
Dan belakangan ini Irene terus canggung saat berada di sekitar Akbar, sedangkan pria itu hanya santai dan bersikap seperti biasa. wanita itu terus mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hal yang wajar, sudah lama sejak terakhir kali jantungnya berdebar, dan debaran kali ini adalah milik Akbar.
Ia tahu apa mau hatinya, namun masih ada gejolak tak jelas dan juga perasaan yang mengganjal. Perasaan ketakutan yang masih membuatnya sulit untuk terus keluar dari kubangan masa lalu, hatinya sudah terlampau siap menerima penghuni baru, namun ia takut bahwa kegagalan akan kembali menimpanya seperti dahulu.
Irene merasa bahwa ia adalah wanita dengan masa lalu yang gagal, gagal mempertahankan apa yang menjadi miliknya, ia takut bahwa yang datang pada akhirnya akan meninggalnya kembali.
Tok..tok ia tak mendengar suara ketukan pintu ruangannya, ia terlalu tenggelam dalam pikiran-pikirannya. Akbar berdiri disana, menyusuri figure wajah Irene yang terpahat dengan rasio nyaris sempurna.
"Mikirin aku yah?" pertanyaan itu sontak mengejutkan Irene hingga membuatnya terjungkal dari kursinya. Menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah di balik kolong meja, Akbar terkekeh, menjahili Irene adalah keahliannya.
"Aku bawain makan siang untuk kamu" ia meletakkan kotak makan siang di atas meja Irene, hal yang bukan sekali dua kali ia lakukan, tapi sudah menjadi kebiasaan.
"Thanks" ucapnya, ia belum ingin menunjukkan wajahnya yang semerah tomat itu di depan Akbar, percakapan mereka kemarin tentang pernikahan membuatnya sanksi untuk bertemu lelaki itu.
"Santai aja, aku datang nganterin makanan doang kok, bukan nagih jawaban. Kan aku sudah bilang, keahlianku selain jailin kamu itu adalah menunggu" ucapnya berlutut di sebelah meja Irene, membuat ritme jantung wanita itu semakin cepat.
"Aku pergi yah, jangan lupa makan" katanya lagi, mengusap puncak kepala Irene dengan lembut, lantas melenggang keluar, menyisakan Irene yang masih bengong menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu ruangan.
"Oh aman, rambutku gak bau apek" ucapnya lega, menciumi rambutnya yang sudah dua hari belum di keramas, harusnya ia keramas hari minggu, namun sayang rencananya di gagalkan oleh pasien darurat.
Senyumnya lantas mengambang 5 centimeter, sepertinya ia benar-benar harus memikirkan dengan matang tawaran Akbar, karena ia merasa bahwa ia akan menyesal jika tawaran itu ia tolak mentah-mentah.
**
"Kondisi pasien sudah stabil Dok dibandingkan dengan kemarin" ucap seorang perawat jaga begitu Irene tiba di ruangan.
"Gimana bu keadaannya, sudah agak mendingan?" ia menatap wanita tua itu serius, ada Juna disebelah ranjangnya, dan kini menatap Irene dan juga ibunya secara bergantian. Wanita tua itu mengangguk, menandakan bahwa ia sudah merasa jauh lebih baik dari hari kemarin.
"Permisi yah bu, saya periksa sebentar" Irene mendekat, menyingkap pakaian pasien yang dikenakan wanita yang tak lain adalah mantan ibu mertuanya itu. Tangannya lalu meraba benjolan di bagian pinggang milik wanita itu. Ia meringis, ada rasa menusuk begitu benjolannya di tekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...