19

8.2K 456 31
                                    

"Memaafkan bukan berarti lupa, hanya saja sudah tidak ada yang tersisa sehingga maaf tak lagi bermakna"

***

"Tumben sendirian, partner kamu kemana?" Juna duduk di depan Irene dengan cangkir kopi nya yang masih mengepulkan asap. Mereka tengah berada di coffee shop di seberang rumah sakit tempat Irene bekerja.

"Mas Juna jadi sering ke Rumah sakit yah akhir-akhir ini" ucap Irene sarkastik. Ia sedikit kesal karena seseorang yang datang tanpa diundang dan mengusik waktu tenangnya. Tatapannya lurus ke arah jalanan yang basah oleh air hujan. Sudah beberapa hari ini Akbar absen dari rumah sakit karena harus merawat ibunya yang sakit sehingga Irene menghabiskan waktu senggang yang biasanya ia lewati bersama Akbar seorang diri.

"Bukannya harusnya gitu? Aku kan perlu sesekali mengecek Rumah sakit secara langsung, jadi aku bisa tahu apa yang rumah sakit ini butuhkan." Kilahnya beralasan. Tatapannya terus fokus pada Irene yang tenggelam dalam suara gemericik hujan yang terdengar seperti susunan melodi.

"Hmm, masuk akal sih" ia menyeruput kopinya dan menatap Juna lekat. Ia hanya ingin bilang bahwa ia tak ingin diganggu. Juna cukup pintar untuk mengerti hanya dari nada bicara Irene, namun laki-laki itu berpura-pura buta dengan sinyal yang Irene berikan. Ia hanya ingin menikmati momen langka dengan duduk berdua dengan wanita itu di cafetaria rumah sakit, ditemani gemericik hujan yang membasahi bumi.

"Kamu gak berpikir kalau aku sering ke sini karena kamu kan?" diliriknya Irene yang fokus pada agenda hariannya. Wanita itu diam, ia sempat mengira bahwa mungkin saja Juna sedang berusaha mempersingkat jarak diantara mereka.

"Dari semua kemungkinan yang ada, hal itu yang paling gak masuk akal" ia meletakkan kembali iPad nya, menatap ke luar jendela sembari menyeruput kopinya dengan nikmat.

"Kok bisa kamu mikir gitu? Bisa aja kan kamu memang alasan utama aku jadi sering kemari" ucap Juna menatap Irene intens, membuat wanita itu lantas berbalik menatapnya hingga kini pandangan mereka bertemu di satu titik.

"Gak mungkin sih, kecuali kalau mas sudah tidak waras" cecar Irene sarkastik, Ia berusaha memperjelas batas yang terbentang diantara mereka, bahwa hubungan mereka sudah terputus sejak lama dan tak mungkin dapat disambung kembali.

"Cih, gak usah serius-serius amat kali Ren, wajah kamu tuh kalau serius berasa kayak mau nelen orang" candanya untuk mendinginkan suasana. Ia menangkap sinyal itu dengan mudah, ia lebih tahu dari siapapun bahwa Irene benar-benar tak ingin memberinya kesempatan untuk memulai apapun. Namun bukan Juna namanya jika tak keras kepala, ia akan terus mencoba meski Irene melempar kartu merah di depan wajahnya sekalipun, Juna akan terus melewati garis itu hingga wanita itu memberinya izin untuk masuk kembali ke dalam kehidupannya.

"Oh iya, Reva apa kabar?" Irene teringat Reva dan sontak bertanya tanpa berpikir bahwa Juna mungkin akan merasa bahwa ia sedang mencari topik pembicaraan.

"Hmm, better than before. Berkat kamu dan Dokter Akbar" ucapnya memberi pujian.

"Aku gak bantu apa-apa, yang bekerja lebih banyak itu yah usaha Reva untuk sembuh dan berjuang. Gak mudah buat anak sekecil itu melewati penyakit sebesar itu, he deserve better" wajahnya sendu, teringat pasien-pasien dengan kasus serupa seperti Reva yang pernah ia tangani, Reva orang yang beruntung bisa melalui hal itu.

"Reva emang anak yang kuat, di usia sekecil itu dia sudah harus menyaksikan perpisahan orang tuanya, dia kehilangan sosok ayah di usia muda. Jia bilang kalau aku mirip mantan suaminya, karena itu saat pertama kali ketemu Reva setelah mereka tiba di Indonesia, dia langsung manggil aku papa" ungkapnya bercerita tentang kisah dibalik sebutan papa yang Reva sematkan untuknya.

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang