Awalnya kupikir keadaan di resepsi pernikahan teman Dokter Akbar akan baik-baik saja, awalnya kupikir begitu. Tapi ternyata dugaanku salah besar setelah aku bertemu seseorang yang sangat tak ingin aku temui lagi bahkan meski hanya satu detik.
"Ren? ini ibu, masih ingat ibu kan ?" kutatap wajahnya yang dipenuhi garis kerutan di sana sini, dia terlihat sama seperti 7 tahun lalu namun wajahnya bertambah jadi lebih keriput.
Ingin aku jawab pertanyaannya dengan ocehan seperti, "Jelas saja saya ingat dengan anda" atau seperti ini "Gimana saya bisa lupa sama wanita tua yang dulu nyakitin hati saya seremuk- remuknya" atau semacamnya. Namun yang aku tampakan dari raut wajahku hanya semburat senyum yang jelas aku paksakan hadirnya.
Wanita itu lantas membalas senyumku. Senyuman itu masih sama seperti saat awal aku bertemu dengannya, senyuman yang membuatku lantas luluh lalu berlapang dada menerima putranya sebagai pasangan hidup yang pada akhirnya menyia-nyiakan perasaan tulusku.
"Sudah berapa tahun ini kita gak ketemu? Gimana kabar kamu nak?" dia raih pergelangan tanganku, lembut seperti kala itu. Namun, satu hal yang membuatku tak habis pikir dengannya, bagaimana bisa dia bersikap ramah padaku seolah ia lupa atas perlakuan kejamnya padaku. Ia seolah lupa dengan rentetan kata-katanya yang dulu pernah menyakiti hatiku. Aku bahkan masih ingat, sepedas dan sekejam apa ucapan-ucapannya padaku disaat seharusnya yang ku dengar adalah kata-kata motivasi dan pembangkit semangat.
"Baik" ucapku seadanya. Sejujurnya, aku sama sekali tak ingin bersikap ramah padanya. Rasanya aku ingin undur diri tanpa sepatah kata pun untuknya, tapi bibirku bergerak tanpa diperintah. Dan bodohnya, bibirku tetap tersenyum ramah, seolah memang diatur seperti itu adanya.
"Kamu gak berubah ya, sekarang tinggal dimana? Sudah menikah? Sekara"
"Maaf bu, saya masih ada urusan" ucapku memotong ucapannya. Aku tak ingin mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi darinya. Karena aku rasa, ia sudah tak punya hak untuk tahu tentang hidupku. Sudah cukup mas Juna mengusik kehidupanku, dan aku tak ingin siapapun dari anggota keluarganya juga mengusik ketenanganku, aku takut jika kehadiran mereka membuat ketetapan hatiku yang sudah berusaha ku kokohkan tiba-tiba goyah hanya dalam sekejap.
"Ren..maaf.."langkahku terhenti, kala tangan ringkih itu mencengkram pergelangan tanganku dengan lembut dan permintaan maaf nan lembut itu terlontar dari bibirnya.
Aku diam, tak mampu rasanya kugerakkan kakiku untuk melangkah. Kenapa permintaan maaf yang dulu sangat ingin ku dengan itu baru bisa kudengar setelah sekian tahun dan sekian purnama berlalu. Apa ia tak tahu bahwa aku punya hati yang lemah, aku terlalu mudah luluh dan lagi pada wanita berumur sepertinya.
"Semuanya sudah berlalu bu" kutolehkan wajahku perlahan, lantas menatapnya lekat. Mata keriputnya tampak berkaca-kaca. Aku lemah, pertahananku terlalu rapuh jika berhadapan dengannya.
"Ibu sudah lama ingin bicara sama kamu...apa itu mungkin?" ditepuknya pelan punggung tanganku. Aku sungguh tak punya sesuatu yang ingin aku bahas dengannya, kata-kata yang dulu ingin kuucapkan padanya sudah mengering dan tak ku ingat sedikit pun. Dan lagi, entah sejak kapan aku sudah memaafkannya.
"Bu, saya..."
"Ra! Aku nyariin kamu dari ta_" ku tolehkan pandanganku begitu suara yang tak asing terdengar mendekat.
"Oh Sorry, lagi ngobrol ternyata..."ucapnya mengatupkan bibir perlahan.
"Ini? Pacar kamu?" tatapannya lantas teralih pada Dokter Akbar yang berdiri tepat disebelahku.
"Oh, bukan" sanggahnya cepat, lantas buru-buru ku potong ucapannya.
"Yaudah ya bu, saya permisi. Ayo mas.." ucapku yang spontan menggandeng tangan Dokter Akbar dan memanggilnya dengan embel-embel 'mas'. Aku tak tahu apa yang akan Dokter Akbar katakan tentang hal itu. Yang ada di pikiranku hanyalah, bagaimana caranya aku bisa kabur dari mantan ibu mertuaku yang sangat tak ingin aku temui itu.
"Ra..kita mau kemana?" sapa Dokter Akbar saat kami sudah menjauh dari gedung resepsi dan entah dimana kami sekarang.
"Sorry mas, eh maksudnya Dok." Langkahku terhenti, melempar pandangan ke sekeliling untuk mengetahui letak keberadaan kami yang ternyata sudah sangat menjauh dari parkiran.
"Jadi sekarang panggilannya 'mas' atau 'Dok'? atau dua-duanya?" diangkatnya tangan nya yang masih aku genggam ke depan wajahku yang kini merah karena menahan malu.
"Maaf Dok, Aku gak bermaksud lancang. Aku Cuma gak mau terjebak lebih lama di keadaan barusan" ucapku menunduk, lantas melepas genggamanku pada tangan Dokter Akbar.
"Santai aja Ra, lagian umurku gak tua-tua banget. Masih cocok lah dipanggil 'mas'. Maksudku, aku gak keberatan" ditepuknya pundakku. Aku tahu dia mungkin tak masalah dipanggil apapun. Aku hanya takut, jika panggilanku yang tiba-tiba berubah dapat mendatangkan kesalah pahaman di kemudian hari.
Mendengar ucapan Dokter Akbar, aku hanya bisa diam. Aku tak tahu harus meresponnya dengan kalimat seperti apa. Lantas ku lirik dirinya, lelaki itu hanya menyunggingkan seulas senyum tipis sembari kepalanya menggeleng pelan.
"Yaudah, balik sekarang? Atau mau cari makan dulu?"masih dengan sisa senyum di wajah tampannya, ia menatapku lekat. Ia seolah tahu bahwa aku sedang kelaparan karena tak sempat menyentuh makananku saat di acara tadi.
Lantas aku mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah kakinya yang berjalan satu langkah di depanku.
Di Dalam mobil, aku memilih untuk diam. Aku sama sekali tak berniat membahas mantan ibu mertuaku dengan Dokter Akbar. Kejadian tadi saja sudah cukup membuatku malu untuk bersitatap dengan lelaki itu. Dan sesuai dugaanku, Dokter Akbar tak bertanya sama sekali.
Itulah yang aku kagumi dari sikap Dokter Akbar, setiap kali aku dihadapkan dengan suatu masalah, ia akan tahu kapan harus bertanya dan kapan harus diam. Jika aku sudah diam, Dokter Akbar hanya akan diam hingga aku membahas masalahku lebih dulu. Dan ia akan bertanya saat ia merasa bahwa ia perlu untuk bertanya.
"Kenapa gak nanya apa-apa Dok tentang yang tadi?" kulirik dirinya yang tengah fokus pada kemudinya, sengaja aku memancing. Aku ingin tahu, apa ia sengaja tidak bertanya atau memang tidak peduli.
"Memangnya kalau aku tanya, kamu mau jawab?"ia melirik dengan alisnya yang terangkat sebelah.
"Gak sih kayaknya."aku menggeleng pelan.
"Yaudah. Lagian, kamu bakal cerita kalau kamu rasa perlu. Walaupun aku ingin tahu, tapi aku berusaha buat menghargai kamu. Aku welcome kalau kamu mau terbuka, dan aku juga bakal menghargai kalau kamu memang gak mau cerita Ra" ucapnya lembut, ada senyum hangat membingkai wajah teduhnya.
Entah ini perasaanku saja atau bagaimana, pasti akan lebih baik kalau seandainya aku bertemu Dokter Akbar lebih dulu dari mas Juna. Dia punya sisi yang mudah untuk dicintai dan diterima oleh wanita yang susah jatuh cinta sepertiku. Tapi pada nyatanya, aku sudah lebih dulu bertemu dan jatuh hati pada mas Juna, walau akhirnya aku dikecewakan.
"Makasih mas" ucapku pelan.
"Jadi manggilnya 'mas' nih?" ucapnya dengan nada meledek
"Boleh?"alisku menukik, lantas mengundang gelak tawa renyah, khas milik Dokter Akbar.
"Senyamannya kamu lah Ra, asalkan jangan di panggil 'sayang' aja. Ntar aku ngarep" ucapnya tertawa renyah.
Mataku lantas membulat sempurna begitu mendengar ucapan terakhir Dokter Akbar, terkadang candaannya suka ambigu dan mengundang pertanyaan juga kesalahpahaman. Kuharap dia gak sembarangan ngomong gitu ke cewek lain, aku takut banyak cewek yang salah paham, lantas patah hati karena ucapannya yang bisa bikin orang jadi baper.
***
Terimakasih sudah membaca, sampai jumpa lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/247202796-288-k961643.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
BeletrieBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...