Minggu pagi yang lebih damai dari biasanya, alunan musik klasik yang ia putar dari ponselnya dengan suara audio yang memenuhi ruangan. Aroma teh chamomile yang baru saja menyentuh gelas memenuhi indra penciuman Irene. Ia duduk di balkoni, menatap jalanan ibukota yang tak pernah sepi dari lantai 12 tempat apartemennya berada.
Lalu membuka buku yang ia beli sebelum kembali ke Indonesia 2 bulan yang lalu. Bahkan buku tersebut masih tersegel rapi sebab belum sempat terjamah olehnya. Kesibukan sudah menelannya mentah-mentah, hingga ia lupa bahwa dirinya butuh waktu untuk diri sendiri. Moment saat ini lebih berarti dari apapun, ia sudah cukup puas dengan hanya menikmati udara segar karena kawasan apartemennya berada di kawasan rindang.
"Semoga hari ini semua orang baik-baik saja" harapnya. Dengan begitu, ia akan melewati minggu pagi yang membahagiakan tanpa bertemu pasien di bangsal IGD. Aroma teh chamomile nya saat ini lebih dia inginkan dibandingkan aroma rumah sakit yang selalu tercium indera nya.
Ia letakkan cangkir tehnya, lalu membuka halaman pertama dari sebuah buku yang merupakan novel roman yang tak ia kenali siapa penulisnya. Ia baru pertama kali membaca karya si penulis tak populer itu, buku yang ia beli murah di sebuah toko buku kecil di pinggiran kota Canberra. Sinopsis singkat yang tertulis di belakang buku menarik minatnya untuk membeli buku tersebut.
Sebuah novel romansa tentang cinta pertama yang indah. Itu sama sekali tak pernah bisa ia bayangkan seperti apa dan bagaimana perasaan cinta pertama yang manis. Baginya cinta pertama hanyalah sebuah ilusi, ia menikah di usianya yang masih dini, dengan pria yang bahkan tak ia kenal.
Kisahnya dengan Juna sangat jauh dari kisah cinta pertama yang manis dan menyegarkan memori, jika dikategorikan ia dan Juna adalah kisah cinta pertama yang tragis, lebih tragis dari Romeo dan Juliet yang memilih mati bersama untuk memperjuangkan cinta mereka.
Ting tong.... Bunyi bel apartemennya mengejutkan Irene dan menyadarkan wanita itu dari kisah yang membuatnya tenggelam dalam imajinasi. Ia terdiam sejenak, menatap pintu dan menerka-nerka siapa kiranya yang datang berkunjung dan mengganggu waktu tenangnya. Ia tak sedang menanti tamu dan Juna sudah lenyap dari pandangannya.
Lantas ia beranjak mendekat menuju pintu utama dengan malas, sebenarnya dia tak ingin menerima tamu di waktu seperti ini. Ia hanya ingin sendiri, menyesap teh chamomile nya dan tenggelam dalam kisah percintaan romantis yang hanya merebak dalam imajinasinya.
"Hai" kalimat pertama yang Irene dengar begitu pintu apartemen terbuka. Ia ralat, ia memang tak ingin menerima tamu di pagi hari, tapi beda cerita jika yang datang adalah seseorang yang menawarkan bubur ayam kecintaannya, terlebih jika orang itu adalah Akbar- laki-laki yang akhir-akhir ini ia butuhkan eksistensinya.
"Kok? nyampe kapan? Perasaan kemarin mas bilang baliknya baru minggu depan" Irene sedikit terkejut, Akbar kini berdiri di depan pintu apartemennya, menenteng bubur ayam dari kedai langganannya. Lagipula Irene belum sarapan, dan Akbar datang diwaktu yang tepat, tentu saja ia tak boleh menolak.
"Kamu gak bakal biarin aku berdiri di depan pintu seharian kan? pegel nih aku" katanya mencebik, memberi isyarat agar Irene segera membiarkannya masuk.
"Ya ampun, maaf. Ayo masuk mas" ia membekap mulutnya setelah sadar bahwa itu menghalangi pintu dengan tubuhnya hingga Akbar tak bisa menyelinap masuk.
"Eh, gak usah ditutup pintunya! Aku sungkan sama tetangga kamu, nanti takutnya mereka bicara aneh-aneh karena ada laki-laki ngunjungin kamu pagi-pagi" katanya mencegat Irene yang baru saja hendak menutup pintu. Irene sempat bengong, namun pada akhirnya membiarkan pintu apartemennya terbuka agar tetangganya tak berpikir yang tidak-tidak seperti yang Akbar khawatirkan.
Ini pertama kalinya Irene menerima tamu sejak kepulangannya ke Indonesia, terlebih tamunya itu seorang pria lajang. Mungkin itu hal yang biasa terjadi saat ia tinggal di luar negeri, tapi tidak dengan di sini. Orang-orang tentunya akan bergunjing tentang dirinya yang pagi-pagi sudah di datangi laki-laki. Ia tak menyangka bahwa Akbar bisa berpikir panjang tentang akibat yang mungkin saja bisa ia tanggung suatu hari, apalagi tetangga sebelah itu pasangan suami-istri yang cukup religious, dan khawatirnya akan menggiring opini-opini buruk tentangnya, karena itulah ia mengikuti saran Akbar untuk membiarkan pintu depan terbuka selebar mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...