"Andai aku tahu kisah kita akan seperti ini, aku tak akan pernah berpikir untuk memulai"
***
Hampir dua tahun berlalu sejak hari pernikahan kami, banyak hal yang sudah terjadi dalam rumah tangga kami. Aku pun akhirnya hamil tak lama setelah kami menikah, namun sayangnya anak dalam kandunganku meninggal hanya dalam beberapa menit setelah dilahirkan. Hal itu membuat kami sekeluarga merasa sangat terpukul, terlebih lagi aku sebagai ibu.
Setelah kematian anak kami, herannya mas Juna menjadi semakin sibuk, ia sudah jarang memperhatikanku dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Disaat yang bersamaan, ibu mertuaku sibuk mengomentari diriku yang tidak becus dalam menjaga diri selama kehamilan. Awalnya aku memakluminya, mungkin saja ia sedikit kecewa karena kematian cucunya. Namun ocehannya semakin lama semakin menjadi-jadi, ia terus mengatakan hal buruk tentang diriku dan keluargaku.
Aku yang saat itu membutuhkan dukungan menjadi semakin stres akibat caci maki yang tiap hari aku dapatkan. Tak ada siapapun yang dapat aku jadikan sandaran saat itu, bahkan suamiku sendiri yang entah dimana keberadaannya.
Pada akhirnya aku memutuskan sebuah pilihan yang berat, mengajukan surat gugatan cerai ke pengadilan dengan alasan bahwa suamiku lari dari tanggung jawab sebagai suami selama masa-masa sulit yang aku jalani. Saat itu yang aku pikirkan hanya satu hal, aku ingin bahagia, dan aku tidak bahagia di rumah ini, jika tak ada satupun yang dapat dijadikan sandaran, pernikahan ini tidak layak lagi untuk aku pertahankan.Dan kini aku duduk menyendiri di ruang tengah dengan penerangan seadanya, menunggu kepulangan suamiku untuk menyerahkan surat gugatan perceraian yang dikeluarkan dari pengadilan yang sudah ku tandatangani lebih dulu.
“Sudah pulang mas?” sapaku pada mas Juna, laki-laki yang sudah hampir 2 tahun ini jadi suamiku. Wajah tampannya tampak begitu kusut, namun masih elok untuk dilihat oleh mata, pekerjaan yang banyak membuat lelaki itu hampir tak pulang ke rumah, ia seolah lupa bahwa ada kehidupan yang menunggunya di rumahnya yang megah ini.
“Maaf yah, aku akhir-akhir ini jarang pulang. Sibuk banget!” ucapnya berdalih seperti yang biasa ia lakukan. Tapi setidaknya aku tahu, ditengah kesibukannya itu ia masih bisa menyempatkan waktu untuk makan bersama mantan pacarnya yang sepertinya jauh lebih penting daripada aku yang sekarang adalah istrinya.
“Udah makan mas? Aku masak iga buat kamu, kalau mau biar aku panasin” ucapku menawarkannya untuk makan, meski aku tahu dia akan bilang bahwa dia sudah makan.
“Enak tuh, tapi kenyang banget. Tadi aku makan di luar sama temen aku” jawaban yang terdengar seperti alasan itu benar-benar sudah muak aku dengar. Dia mungkin berpikir bahwa dia sudah berhasil membodohiku, padahal aku tahu betul siapa teman yang makan yang dia maksudkan itu, tak lain dan tak bukan orang itu adalah Jia, mantan pacarnya yang ia putuskan tepat sebelum menikah denganku, seorang wanita yang menolak lamaran pacarnya demi keberlangsungan karirnya.
Seorang fashion designer yang membuatku iri sekaligus kesal. Aku iri karena dia bisa menjadi apa yang ia mau, ia bisa memilih antara pernikahan dengan karirnya disaat aku bahkan tak dibiarkan memilih. Aku kesal karena dia yang seenaknya meninggalkan mas Juna bisa dengan mudah kembali pada laki-laki itu, seolah tak ada apa pun yang pernah terjadi.
“Mas” kupanggil ia dengan lembut, mencoba membuatnya berhenti berbicara untuk sejenak agar aku bisa mengutarakan maksudku yang beberapa hari ini terus tertunda karena kesibukannya.
“Aku jengkel banget hari ini, masa sekretarisku disuruh buat handle jadwal meeting klien aja gak becus, sepertinya aku harus ganti sekretaris.” Ia terus bercerita semaunya tanpa peduli aku memanggilnya.
“Bisa-bisanya terima upah tapi kerja berantakan, ckckck…”
“Mas!” panggilku, kali ini dengan sedikit penekanan.
“Oh iya, ya ampun. Tadi kamu mau bicara apa? aku sampai lupa.” Katanya, menaruh perhatian penuh padaku.
“Mas memang selalu seperti itu, berbicara dan terus mengabaikan sekitar.” Keluhku sinis.
“Aduh, maaf deh maaf. Lain kali aku gak begitu lagi” tukasnya mematut wajah konyol untuk membuatku berhenti merajuk.
“Jadi Nyonya Orlando mau bicara apa? sepertinya penting” lanjutnya lagi. “Karena mas sudah bertanya, aku akan bicara.” Kutarik kursi meja makan yang berhadapan dengannya.
“Okay, jadi istriku mau bicarakan tentang apa nih? ” katanya memasang tubuh, guna memperhatikanku dengan lebih lekat.
“Sebelum itu, aku mau mas mendengarkan sampai aku selesai bicara, mas tahu kan aku tidak suka ucapanku di sela?, terlebih jika aku sedang serius.” Kataku lagi, lebih memperjelas bahwa apa yang akan aku katakan benar-benar hal serius dan perlu perhatian penuh darinya.
“Okay…kedengarannya kamu punya masalah serius yang perlu di dengar. Aku akan dengar kamu sampai selesai. Jadi … silahkan” katanya dengan tampang penuh keseriusan.
“Sudah hampir 2 tahun sejak kita menikah karena perjodohan kedua keluarga, awalnya aku marah karena kupikir aku akan dinikahi om-om, tapi aku jadi lega karena ternyata om-om nya masih muda.” Tuturku memulai, sengaja kumulai dengan basa-basi agar nantinya lelaki itu tak terlalu terkejut dengan apa yang akan aku ucapkan.
Kulihat ia tersenyum tipis menanggapi ucapanku, “Om-om hot” gumamnya. sedangkan aku tetap dalam mode wajah datar tanpa ekspresi.
“Setelah menikah, banyak hal yang sudah kita lalui, pahit manis pun kita terjang bersama, mulai dari kematian ibuku, mas Juna yang digebukin rentenir karena sengketa hutang ayahku, dan banyak hal lainnya lagi diluar itu, kita terus menghadapinya bersama. Tapi rasanya hampir satu tahun belakangan ini aku seperti berjalan sendiri, buta arah, tanpa dukungan, rasanya aku seperti berjalan di jalanan berduri, tanpa sadar aku terluka secara bertahap, tapi pada kenyataannya tidak ada yang bisa aku salahkan selain diriku sendiri…”
“Ren…” katanya memotong ucapanku.
“Aku belum selesai mas!” kataku menginterupsi, kemudian ia diam dan kembali mendengarkan meski sebenarnya ia terlihat seperti ingin berkomentar.
“Aku perlahan kehilangan genggaman tangan mas Juna, kupikir setidaknya mas Juna berdiri di sisiku ketika seluruh dunia menjatuhkan aku, tapi pada realitanya mas Juna berada jauh di belakang, menjadi penonton atas teriakan yang menikamku dari berbagai sudut. Aku marah, marah sekali bahkan, tapi sekali lagi tak ada yang bisa aku salahkan selain diriku sendiri, aku yang tak tegas menolak hingga pada akhirnya aku melebur dalam hubungan pernikahan yang bahkan aku sendiri tak menginginkannya.” Tuturku.
Lama aku terdiam dan hanya memandangi dirinya. Tatapan mata kami melebur pada satu titik, kemudian dia berkata “ Maaf” satu kata yang saat ini tidak ingin aku dengar darinya.
“No” aku menggeleng.
“Bukan maaf yang aku cari!” tegasku.
“Saat ini kata maaf dari mas adalah perkataan yang sia-sia bagiku.” Kataku lagi. “Lalu? Apa yang bisa aku lakukan untuk meredakan marahmu?” diraihnya pergelangan tanganku.
“Ceraikan aku” kataku lantang, dan kutarik perlahan tanganku dari genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...