20

9.7K 444 13
                                    

"Dokter Irene butuh sesuatu?" seorang perawat pria menyembul di balik tirai tempat Irene berada.

"Terimakasih, saya cuma butuh istirahat saja kok. Lagipula ada banyak pasien kan yang perlu ditengok, silahkan dilanjutkan saja." Cicit Irene menampik tawaran si perawat pria dengan sopan.

Lantas perawat tersebut beranjak pergi lalu menyungkup kembali tirai tempat Irene berada dan membiarkan wanita itu beristirahat dengan tenang. Selepas kepergian si perawat, Irene menengadah, memperhatikan laju aliran cairan infus yang stabil. Ini bukan kali pertamanya berbaring dikasur pasien, sudah terhitung beberapa kali jarum infus menembus kulitnya sejak ia menjadi Dokter residen. Jadwal yang padat membuat waktu istirahat dan juga waktu makannya menjadi semakin berantakan.

Ia pun mencoba memejamkan matanya, mengambil kesempatan sebagai pasien untuk beristirahat dari jadwalnya yang padat merayap tanpa jeda sedikit pun. Ditengah pergulatannya dengan dengan kantuk, sekelebat memori tentang Juna terlintas di pikirannya.

Mungkin itu hanya reaksi alami dari alam bawah sadarnya karena beberapa saat lalu ia bertemu dengan Juna. Namun semakin keras ia menampik, kenangan masa lalu nya bersama Juna semakin bergulir layaknya roll film. Jelas ini bukan perasaan cinta yang dulu pernah ia rasakan, itu hanya bunga tidur yang sedang berusaha mengingatkannya bahwa dulu dirinya pernah bahagia sebelum semua hal tak menyenangkan menimpanya.

Di Tengah tumpukan kenangan yang bergulir itu, satu memori menyakitkan terlintas. Hari dimana ia kehilangan Janin yang dia kandung. Terlihat jelas dalam putaran memorinya bahwa hari itu adalah hari terburuk dalam hidupnya. Ia tak pernah merasakan sakit yang menusuk layaknya hari itu, dan di tengah semua itu tak seorang pun memberinya dukungan atau paling tidak berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja seiring tahun berlalu, nyatanya waktu bahkan tak mampu menyembuhkan luka hatinya.

Mitos yang mengatakan bahwa waktu akan menyembuhkan semuanya itu adalah perkataan paling sia-sia, yang sebenarnya terjadi adalah waktu hanya membuat rasa sakit itu menghilang untuk sementara waktu, sementara kenangan menyakitkan itu akan selalu tertanam didalam hati dan bisa mencuat kapanpun tanpa diminta.

Tak terasa bahwa waktu berjalan begitu cepat, terasa seperti Irene baru saja memejamkan matanya beberapa waktu lalu, namun panggilan untuk menghamba dari toa masjid berkumandang. Membangunkan Irene dari tidur lelapnya.

Lantas di tengoknya cairan infus yang sudah hampir habis, dan juga suhu tubuhnya yang telah normal kembali. Ia pun bangkit, menarik keluar selang infus yang menancap di punggung tangannya itu. sepertinya wanita itu memang ambruk akibat kelelahan yang luar biasa, namun setelah cukup istirahat ia bugar kembali seperti sebelumnya.

"kok sudah bangun Dok? Infusnya belum habis loh itu" cegat Rina-salah satu staff IGD- wajahnya tampak basah, sepertinya ia hendak menunaikan panggilan Tuhannya. Dan hari ini Irene masih belum bisa melakukan itu karena berhalangan, padahal ada banyak keluhan dan juga cerita yang ingin ia munajatkan.

"Gak apa-apa Rin, saya sudah segar kok. Makasih yah sudah di rawat" di pasangnya senyum paling ramah yang ia miliki. Selama ini ia sering marah-marah hanya karena beberapa keluhan pasien tentang pelayanan IGD yang kurang memuaskan, namun hari ini sadar betapa beratnya pekerjaan mereka, tak berbeda dengannya, mereka juga sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

"Kan memang sudah tugas saya untuk merawat orang sakit Dok, meskipun Dokter Irene sudah menyelamatkan banyak nyawa, tapi beberapa jam lalu status anda itu pasien, tentu saja saya harus memperlakukan dokter Irene sebagaimana mestinya pasien-pasien yang lain toh?" cicit gadis jawa berkulit sawo matang dengan senyumnya yang ayu.

Irene hanya tersenyum mendengar ucapan Rina, meski ia sering bersikap tidak ramah pada staff IGD, namun mereka tetap memperlakukannya seperti pasien yang lain. Setelah merasa bahwa ia mendapatkan energinya kembali, ia memutuskan untuk membenahi barang-barangnya dan lekas bergegas pulang ke apartemen. Sepertinya ia harus memanfaatkan weekend kali ini dengan baik, seraya berharap bahwa tidak akan ada panggilan operasi darurat.

Lantas ia memeriksa aplikasi pemesanan taxi online yang sepertinya masih terlalu pagi untuk menerima pesanan via aplikasi. Ia pun memutuskan untuk menunggu taxi yang mungkin saja lewat di depan rumah sakit.

Dun..dun.. sebuah mercy hitam berhenti tepat di depan Irene, lalu kaca mobil pun turun hingga menampakkan sang pengemudi yang tak lain adalah Juna. Lantas Irene memutar mata malas, pria itu adalah seseorang yang tak ingin ia lihat di pembuka harinya, namun sepertinya semesta sedang mempermainkannya karena akhir-akhir ini pria itu terus muncul di depan matanya tanpa ia minta.

"Butuh tumpangan?" katanya menawarkan.

"Terimakasih" ucap Irene kikuk. Ia hanya sedang berusaha bersikap dewasa, meski sebenarnya ia tak nyaman jika hanya berdua dengan pria itu, namun sepertinya menerima tawarannya adalah cara tercepat untuk sampai ke apartemen dan sesegera mungkin menikmati waktu istirahatnya.

Mobil melaju setelah Irene duduk manis di kursi penumpang tepat disebelah Juna. Tak ada percakapan yang berlangsung di sana, baik Juna atau Irene hanya terdiam. Yang terdengar hanya suara lalu lalang kendaraan yang berebutan untuk menyalip agar tak dikejar kemacetan ibukota.

"Maaf yah" Juna buka suara.

"Untuk?" ditatapnya pria itu dengan heran.

"Semalam aku terlalu egois sampai gak kepikiran kalau kamu pasti gak nyaman sama kehadiranku." Akunya, ia menatap Irene dengan senyum hangatnya yang sudah lama tak terlihat di manapun itu.

"Hmm...daripada gak nyaman, aku lebih merasa situasi semalam itu kompleks aja. Harusnya mas Juna pergi ketika aku sudah ditangani perawat, kita gak sedang di hubungan yang mengharuskan mas menunggu untukku semalaman, mas membuatku seolah terlihat paling jahat, padahal di masa lalu aku itu korbannya." Jelasnya frontal. Dia bukan lagi Irene yang dulu, wanita yang selalu takut menyuarakan isi hatinya dengan gamblang, kini dia lebih jujur, terutama tentang hal-hal yang tidak lagi ia sukai.

Juna bergeming memikirkan tiap kata yang keluar dari mulut wanita itu. Ia sedikit tersentak, tak menyangka bahwa Irene akan berkata sefrontal demikian. Ia sadar tentang rentang waktu yang mereka lewati hingga kembali bertemu, dan selama masa itu Irene berubah menjadi sosok yang sedikit asing untuknya. Ia mengira bahwa wanita itu akan selalu sama, saat itu ataupun sekarang.

Bahkan di saat perpisahan mereka, Juna tertahan egonya untuk tak menghentikan keputusan Irene, ia berpikir bahwa Irene mungkin sedang di luput emosi hingga ia lupa bahwa hidupnya terlalu ia gantungkan pada Juna, nyatanya Irene serius dengan keputusannya untuk melepas pria itu 7 tahun silam, ia membuktikan pada Juna bahwa dirinya masih berusaha untuk berdiri dengan kaki sendiri meski sebenarnya sulit untuk melakukannya.

"Apa kamu masih marah?" ia bertanya, segan untuk sekedar melirik ke arah retina wanita itu.

"Buat apa aku marah? Justru aku berterima kasih karena mas Juna cepat tanggap begitu melihatku kolaps" jawabnya jujur.

"Maksudku bukan itu, tapi saat itu, saat aku menyakitimu? Apa kamu masih marah?" mobilnya menepi, tepat di depan apartemen Irene.

"Kalau aku marah setelah 7 tahun berlalu, itu artinya aku masih mencintaimu mas" ujarnya.

"Dan kamu sudah tidak marah, kurasa" ada keinginan kuat tergambar di sorot mata Juna.

"Terimakasih atas tumpangannya" Irene berpaling, membuka pintu mobil dan beranjak pergi meninggalkan pria itu dengan pertanyaan-pertanyaan serta berbagai kemungkinan di dalam kepalanya. Setidaknya masih ada satu hal yang tak berubah dari wanita itu setelah bertahun-tahun berlalu, ia masih menjadi sosok yang sulit di tebak dan misterius, hanya Irene yang tahu isi hatinya, dan Juna tak pernah tahu jawaban apa yang Irene miliki atas pertanyaan dalam benak Juna Do you still love me?.

--------------------

to be continued....

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang