28

9.8K 342 4
                                    

1 Bulan kemudian…
“Perhatian-perhatian, kepada para maskapai yang terhormat penerbangan B3700 tujuan Jakarta Indonesia, seorang wanita berumur 45 tahun dengan riwayat penyakit asma mengalami kejang-kejang dan di harapkan jika dalam penerbangan ini ada seseorang yang berprofesi sebagai seorang dokter kami persilahkan menuju kelas ekonomi. Sekian dan terimakasih”

Begitulah pengumuman dari flight attendand  dari pesawat yang akan membawa Irene pulang menuju Jakarta. Tanpa lama berpikir, ia lantas bangkit dari tempat duduknya di bussines class menuju kelas ekonomi dimana seorang pasien tengah membutuhkan pertolongan darinya.

“Permisi, boleh saya cek pasiennya? Saya Dokter di Rumah Sakit X.” ucap Irene yang menyusup di tengah kerumunan.

“Oh Silahkan Dokter” para staff pesawat memberi jalan agar ia leluasa memeriksa pasien.

“Bisa tolong beri ruang untuk pasien? Kerumunan orang akan memperparah kondisinya” Irene menegaskan beberapa staff untuk tidak terlalu mengerubungi wanita tersebut.

“Apa pasien bisa dipindahkan ketempat yang lebih luas untuk sementara?” ia menatap staff pesawat secara bergantian. Dan mereka pun tak masalah dengan hal tersebut, hingga pasien pun dipindahkan ke tempat yang lebih luas.

Setelah memastikan keadaan pasien, Irene memutuskan untuk tetap berada di sebelah pasien serta mengantarnya hingga ke rumah sakit sebagai dokter yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.

Berhubung rumah sakit tempat ia dulunya bekerja adalah rumah sakit terbesar dengan fasilitas sangat memadai, pasien pun segera dilarikan menuju rumah sakit dengan ambulan begitu tiba di bandara.

Apa pada akhirnya aku akan bertemu denganmu seperti ini? Seolah seperti sebuah alur dari cerita roman picisan yang banyak di gemari wanita jaman sekarang, klise.

Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk tersenyum semanis itu, tapi kini Irene sedang tersenyum karena seseorang yang kini memenuhi pikirannya.

Setibanya di rumah sakit, Irene segera menjelaskan diagnosanya tentang pasien yang tadi bersamanya.

“Aku kaget loh denger kamu keluar dari ambulance, aku langsung lari karena ngira kamu datang jadi pasien”

“Untungnya gak Dok, aman” katanya, menepuk bahu rekan dokter satu tim nya dulu.

“Jadi pada akhirnya Dokter Irene balik ke rumah sakit ini lagi nih?” Dokter berparas cantik, sebut saja Aurel, yang dulunya juga adalah teman seperjuangan Irene dan kini bertugas sebagai dokter spesialis bedah anak.

“Hmm, sayangnya gak. Aku harus balik lagi ke Australia dalam beberapa bulan. Tapi kalau harus balik ke Indonesia, rumah sakit ini adalah tujuan utamaku.” Raut wajahnya yang tadinya sedikit kecewa pun berubah dengan cepat.

“Terus kamu balik ke Indonesia ngapain Ren?” Raut wajah Aurel terbaca dengan jelas, wanita itu benar-benar penasaran sekarang.

“Ada yang harus aku selesaikan” Irene tersenyum.

Jika Tuhan memang masih berpihak padaku, aku rasa hari ini akan berjalan sesuai mau ku. Kuharap kali ini Tuhan berpihak padaku.

“Oh iya, liat Dokter Akbar nggak?” matanya mencari-cari sosok laki-laki yang akhir-akhir ini ia rindukan. Sudah hampir 2 purnama ia habiskan tanpa mengabari apapun pada laki-laki itu. Ia hanya berharap bahwa mungkin laki-laki bernama Akbar itu tidak keberatan dan masih menunggu dan menyisakan satu ruang untuk dirinya.

“Dokter Akbar sedang di operation room, kamu mau aku memberitahunya? Kebetulan aku harus kembali karena sebentar lagi ada jadwal operasi yang harus aku hadiri” Aurel memberi saran.

Irene menggeleng pelan “Aku bisa menghubunginya nanti, thanks”.

Aurel pergi setelah berbincang sebentar dengan Irene, langkahnya berat untuk melangkah karena sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia dengan dari Irene, namun pekerjaannya sudah menunggu.

Akbar masih belum mengetahui perihal kepulangan Irene kali ini, ia tak pernah berani menghubungi wanita itu dan memutuskan untuk terus menunggu hingga Irene memberinya keputusan dengan sendirinya.

Akbar merasa bahwa ia sudah menunjukkan perasaannya seutuhnya hanya dengan menghargai keputusan Irene yang meminta waktu untuk berpikir. Tetapi sepertinya bukan itu yang Irene harapkan, ia tak menyangka bahwa Akbar akan seketat itu dan tak menghubunginya sama sekali.

Setelah cukup beristirahat di cafetaria, Irene memutuskan untuk segera menuju hotelnya setelah ia mendapat kabar bahwa barangnya sudah tiba lebih dulu di hotel.

“Ara!” langkah Irene terhenti begitu mendengar suara yang sudah lama ia dengar itu.

Irene menoleh, lantas mendapati sosok laki-laki yang masih lengkap dengan pakaian operasi serta headcap yang baru saja ia lepas.

“Hai mas” Irene tersenyum.

“Aku langsung lari nyari-nyari kamu kayak orang gila begitu dengar kabar dari Dokter Aurel kalau kamu ada disini.” Laki-laki itu berbicara tersendat-sendat, sepertinya ia memang berlari sekencang yang ia bisa seperti seseorang yang kehilangan akalnya.
Irene tersenyum lagi.

“Tadinya aku mau ke hotel dulu buat mandi, ganti baju, terus dandan yang cantik baru ngajakin mas dinner, eh malah ketemu duluan, pas aku masih kumel lagi. Mas datangnya terlalu cepat, kan aku belum siap-siap”ucapnya, lalu memperbaiki anak rambutnya yang jatuh menutupi pandangannya.

“Hmmm.. aku nggak masalah, aku tahu kamu pasti capek, tapi aku sudah tidak bisa menunggu kabar yang kamu bawa itu, jadi boleh nggak kamu kasih aku jawabannya sekarang sebelum kamu ke hotel?” Akbar mendekat ke arah Irene.

“Mas mau dengar jawabannya di sini? Rame loh disini, mas nggak takut kalau misalkan aku memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan mau mu?” raut wajah Irene menjadi lebih serius.

“Oh iya juga sih, kita ke sana aja deh “ Akbar menunjuk kursi yang sekarang sedang kosong di taman depan Rumah sakit.

Setelah Akbar tenang dan bernapas dengan normal sebagai mana mestinya, mereka pun kini saling berhadapan dengan serius.

“Jadi keputusan kamu gimana?” Akbar dengan ketidaksabarannya memulai percakapan.

“Mas pasti resah yah selama 2 bulan ini?”

“Sepertinya itu pertanyaan yang tidak perlu aku jawab kan? Kamu pasti tahu jawabannya hanya dari raut wajahku saat kita pertama ketemu di lobi.” Akbar enggan melepaskan tatapannya dari Irene.

Wanita itu hanya mengangguk, tak bisa di pungkiri bahwa keresahan dan juga keputusasaan tergambar jelas di wajah teduh laki-laki bernama Akbar itu.

“Pertama aku mau bilang kalau kesempatan itu nggak datang 2 kali, kita sama sama tahu itu. Dan seperti yang mas tahu, tawaran dari profesorku itu kesempatan yang sangat aku impikan dan jelas bagus untuk karirku di masa depan.” Irene berusaha menjelaskannya dengan sangat hati-hati agar Akbar memahami tiap kata yang Irene ucapkan tanpa terlewat sedikitpun.

“Hmm.. jadi kamu memutuskan untuk memilih bersama dia ya?” kekecewaan menyelimuti wajah Akbar.

“Dia? Siapa yang mas maksud?”

“Juna, mantan suami kamu. Aku tahu kalian bersama selama 2 bulan terakhir ini, sepertinya reuni kalian berhasil yah” Akbar tersenyum kecut.

Sepertinya memang aku tidak punya kesempatan sejak awal, aku terlalu percaya diri bahwa pada akhirnya aku akan dapat jawaban yang aku inginkan jika menunggu sedikit lagi, ternyata salah.

------
HAI...kalian pasti nunggu lama banget yah, hahaha...sorry guys. Semoga kalian gk lupa sama cerita ini, aku bener2 berusaha balik lagi ke akun ini gara lupa password,  huhu ...😭
Terimakasih karena sudah menunggu dengan sabar guys💕

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang