"Semua orang pada dasarnya bersembunyi dibalik topeng, hanya saja tak mudah untuk melihatnya"
**
"Irene tunggu!" baru saja aku keluar dari ruangan, suara mbak Jia menghentikan langkahku, Lantas aku menoleh.
"Kita perlu bicara".
"Jika ini menyangkut masalah pribadi, saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan antara saya dan mbak" ucapku lantas memasang senyum simpul dibalik sikap denial pada wanita itu.
"Sebentar aja Ren, setelah itu terserah kamu" ucapnya memasang tampang memohon.
"Kalau gitu silahkan bicara" ucapku tegas. Aku hanya ingin mbak Jia tahu, bahwa antara aku dengan dia tak perlu ada yang dibicarakan.
"Di ruangan kamu bisa? Sebentar saja Ren!" Entah apa yang ingin dibicarakan wanita itu di ruanganku. Padahal aku hanya ingin mempersingkat antara aku dengan dirinya.
"Oke" ucapku singkat lantas berjalan menuju ruanganku diikuti mbak Jia.
Sesampainya di ruanganku, kupersilahkan dia duduk. Jika sikapku dianggap tidak sopan, biarlah. Aku hanya tak ingin memperpanjang obrolan kami, oleh karena itu aku tak menyuguhkan minuman apapun untuknya.
"Tentang mas Juna..." dia memulai
"Mbak tenang aja, aku harap kalian hidup bahagia. Aku nggak ada niat ganggu" culas ku cepat. Enak saja dia meminta mengobrol di ruangan pribadi hanya untuk memperingati ku untuk tak dekat dengan suaminya.
"Bukan itu yang aku maksud Ren" kilahnya menggeleng, lantas tersenyum simpul.
"Lalu?" Aku mengernyit, bingung. Bukankah itu yang ingin ia bicarakan? Agar aku jauh-jauh dari mas Juna?.
"Aku gak peduli kamu dekat sama Juna. Itu hak kamu. Aku cuma mau bilang, kalau antara aku dan Juna itu gak ada apa apa" cakapnya menjelaskan.
"Rava sama Juna gak ada hubungan darah. Dia anakku dengan pria lain. Perihal Rava yang manggil Juna Papa, ceritanya panjang. Aku malu harus ceritain ke kamu. Jadi...mungkin lain kali." Ucapnya menjelaskan, lantas ia tersenyum lebar. Seolah ada perasaan lega yang memenuhinya.
"Tapi...Kenapa mbak bilang semuanya ke aku.?" Tiba-tiba saja aku tersadar, kenapa juga mbak Jia memberitahukan semuanya padaku. Padahal rasanya semua itu udah gak penting lagi.
"Aku gak mau kamu salah paham." Jelasnya lantas mencebik.
"Salah paham...Aku gak punya alasan buat salah paham." Ku ulangi kembali ucapannya, lantas kembali ku tegaskan bahwa kedepannya tak akan ada kesalah pahaman di antara aku dan mas Juna.
"Who knows? Aku cuma jaga-jaga. Kali aja kamu salah paham." Ucapnya mengedikkan bahu, dan mencibir ke arahku.
Aku diam, apa iya aku salah paham? Entah kenapa setelah mbak Jia menjelaskan hubungannya dengan mas Juna aku jadi berhenti terintimidasi dengan eksistensinya. Apa aku memang terintimidasi oleh mbak Jia karena perasaanku yang belum bisa move on dari mas Juna?"Yaudah, aku cuma bilang itu ke kamu. Aku balik dulu, takut Rava nyariin." pamitnya tersenyum, kemudian berlalu dan menutup kembali pintu ruanganku.
Usai mendengar ucapan mbak Jia, aku lantas bertanya pada diriku. Apa iya, aku belum siap jika mas Juna menikah lagi? atau aku hanya sedang terintimidasi karena aku takut bahwa mas Juna akan menikah dengan wanita yang dulu pernah ia cintai selama bertahun-tahun.
Kuraih ponselku, kutatap wallpaper yang sejak 5 tahun lalu tak berubah. Foto pernikahanku dengan mas Juna. Tak ada senyum di sana, wajahku datar tak berekspresi.Sejak aku memutuskan untuk melanjutkan studiku di Australia, aku memutus semua kontak yang berhubungan dengan mas Juna, termasuk sosial media. Baik sosial media pribadinya maupun akun media sosial perusahaannya. Namun ada satu yang hingga saat ini belum bisa ku putus, perasaanku pada mas Juna yang sudah terlanjur dalam.
**
Kutatap langit sore sambil bersenandung, ini yang aku suka dari ruanganku. Meski aku harus lelah karena bolak-balik setiap lantai, tapi rasa lelahku hilang begitu kutatap matahari terbenam dari balik Jendela kaca di ruangan ku.
Rasanya tentram, aku tak ingin beranjak barang sebentar. Di hari Jumat sore yang damai ini, menjelang weekend jadwal operasi ku berkurang, meski weekend aku tetap hectic karena mengejar rampungnya tesis ku.
Drtttt... kulirik benda pipih yang selalu ku silent setiap kali aku berada di mode tenang seperti ini. Tapi mungkin sudah insting, aku tak bisa mengabaikan benda pipih itu karena bisa saja ada panggilan darurat masuk.
Sebuah pesan Whatsapp masuk dari nomor tak dikenal.
"Ren...ini aku. Juna" satu pesan yang cukup membuat laju detak jantung lebih cepat dari biasanya, serta aliran darah yang terasa mendidih.Kubaca pesan itu, kutelan saliva ku. Memikirkan balasan macam apa yang harus aku ketik via papan ketik ponselku.
Typing..... belum sempat kupikirkan balasan apa yang harus ku ketik, status whatsapp laki-laki itu menunjukkan bahwa ia tengah mengetik kembali. Tak tahu apa yang ia ketik hingga membuatnya begitu lama.
"Aku tahu pasti kamu bingung karena aku tiba-tiba wa kamu. Aku juga tahu, kamu pasti sedang bimbang antara membalas pesan ini atau tidak...."
Statusnya masih typing... bagaimana bisa ia begitu memahami isi kepalaku. Alih-alih membalas, aku lebih penasaran apa yang akan ia utarakan selanjutnya.
"It's Ok. kamu gak balas pun aku lega. Karena kamu masih mau baca pesan dariku. Maaf aku minta nomer kamu ke bagian administrasi tanpa izin kamu dulu." Akunya, aku sih tak masalah dengan itu. Aku senang mas Juna punya inisiatif lebih dulu untuk menghubungiku. Yah, meski mungkin tak ada yang bisa dibenahi dari hubungan kami.
Kenyataan bahwa mas Juna masih menaruh peduli dan mungkin saja masih menaruh rasa pada mbak Jia, tak akan merubah segalanya. Hubungan kita akan tetap sama, terhalang perasaan yang berbeda.
"Nope" Balasku sesingkat mungkin.
Lantas ia mengirimkan emoticon sebagai balasan pesan singkatku. Yang berakhir hanya kubaca. Karena aku tak tahu harus balas macam apa. Alih-alih offline, laki-laki itu malah typing kembali. Dan penasarannya, aku kembali melenggokkan kepalaku mengintip benda pipih itu."Gak keberatan kan kalau sesekali aku wa?" Lantas kusadari sudut bibirku menukik naik, dan aku balas lagi pesannya. Tak panjang, hanya emoticon thumbnail yang kembali ia balas dengan emoticon nyengir.
Pada akhirnya, wajahku yang selama ini kusembunyikan dibalik topeng akhirnya terkuak ke permukaan hanya karena sebuah pesan dari mantan suami yang selama ini tak luput dari hatiku.
Kuletakkan kembali benda pipih itu diatas meja kerjaku, kupandangi langit sore yang mulai temaram. Pertanda bahwa malam mulai menjelang. Hari yang tenang seperti biasa, serta rasa Rindu yang selalu terpatri dalam dada yang tak lekang oleh waktu dan udara
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...