22

8.3K 492 38
                                    

"Both you and I know, we are no longer in love but two-person that live in memory, so don't let ourselves cross the line"

***

Irene masih tak percaya bahwa pasien yang sedang berbaring tak sadarkan diri itu adalah mantan ibu mertuanya yang tak lain adalah ibu dari Juna Orlando.

Sebelum memeriksa keadaan wanita lansia itu, sudut matanya sempat menangkap wajah mantan suaminya-Juna, yang terlihat begitu khawatir. Ia lalu mendekati pria itu begitu mantan ibu mertuanya itu dipindahkan ke ruang rawat inap.

"Minum dulu" Irene menyodorkan botol mineral kepada Juna, mereka kini berada di ruangan Irene.

"Harusnya aku lebih perhatian sama ibu" sesalnya, meremas kuat jari jemarinya yang terkepal. Ia tertunduk, menyesali segala tetek bengek kesibukan yang membuatnya lupa pada wanita yang telah melahirkannya itu juga perasaan kesal berkepanjangan yang sudah lama ia pendam.

"Aku gak bisa jamin keadaannya akan baik-baik saja. Kita perlu melakukan pengecekan lebih lanjut setelah Ibu kamu sadar mas, ada benjolan seukuran kepalan tanganku di pinggang sebelah kanannya."ucap Irene menjelaskan dengan mengepalkan tangan mungilnya, menerka ukuran benjolan yang sempat direkam indranya.

"Benjolan? Maksud kamu gimana?" kepalanya merentak, menatap wanita itu dengan serius.

"Aku belum bisa pastikan benjolan itu apa, tapi aku rasa perlu pengecekan lebih lanjut karena tadi ibumu sempat meringis saat benjolannya aku tekan." Jelasnya, mengangguk, lantas mematut mimik wajah yang seolah menyiratkan bahwa ia berusaha untuk tak membuat pria itu lebih khawatir.

Juna tak berkata apapun, ia hanya menunduk, mengunci wajahnya dengan kedua tangan. Dari hal itu saja sudah terlihat bahwa Juna sedang putus asa. Ia lebih tahu dari siapapun bahwa keadaan ibunya sudah tidak lagi di zona aman, dan sekarang keberadaan benjolan asing itu membuatnya kian putus asa daripada sebelumnya.

"Banyak berdo'a mas" ucap Irene menyarankan, menepuk pundak pria itu pelan, menyalurkan kekuatan yang ia miliki. Ia tidak lupa seberapa banyak mereka menyakitinya di masa lalu, namun sebagai dua orang yang dulu juga pernah melalui masa bahagia bersama, hanya itu yang dapat Irene lakukan, menyalurkan sedikit kekuatannya dan berharap Juna akan kembali lagi pada dirinya yang selalu berpikiran positif di tiap keadaan.

"Huft..." Juna mengangkat kepalanya, menghela napas berat. Ia lalu menoleh ke arah Irene dan menatap wanita itu begitu dalam hingga membuat Irene sedikit kikuk dan lantas mengedarkan pandangannya ke arah lain untuk menutupi perubahan sikapnya "Thanks" katanya singkat.

"Don't mean it, I just do what I supposed to do" Irene mengangguk pelan, enggan untuk menatap Juna yang masih betah menatap wajahnya.

"Kamu udah makan?" melirik Irene sekilas, lalu meneguk air mineral yang Irene berikan tadi untuknya. "Sudah" jawabnya solid.

"Kupikir belum, aku mau makan berdua sama kamu" ia mencebik, ia masih saja berusaha untuk membuat Irene berdamai dan berteman dengannya meski sebenarnya Irene enggan untuk membentuk sebuah hubungan pertemanan dengannya. Irene mungkin akan selalu teringat kenangan pahit dalam hidupnya jika ia berada disekitar Juna.

"Aku sudah makan" tegasnya, seolah ingin memperjelas bahwa Pria itu tak punya kesempatan untuk makan berdua dengan dirinya, hal itu menampar telak pria itu.

"Kamu sadar aku dekati?" ia sedikit terkejut, tak percaya bahwa ternyata selama ini taktiknya untuk mendekati Irene terbaca oleh wanita itu dengan mudah.

"Aku gak bodoh untuk tidak menyadari semua gerak-gerik mas selama ini. Aku cuma diam, karena aku pikir mas akan menyerah suatu hari" sebuah pengakuan yang sedikit mengejutkan.

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang