"Senyuman adalah bentuk paling anggun dari mekanisme pertahanan diri"
***
"Gak akan ada ruang kesalahpahaman lagi diantara kita mas. Jadi mas gak perlu susah-susah menjelaskan hal yang menyangkut hidup pribadi mas, karena itu udah gak di dalam kuasa aku lagi." Jelasku, kupasang senyum selebar mungkin agar mas Juna sadar bahwa kebiasaannya yang dulu perlu dihilangkan.
Mas Juna diam, mungkin ia tak mengira aku akan berkata seperti itu. Mungkin ia mengira bahwa aku masih Irene yang sama seperti 5 tahun silam, Irene yang selalu meminta penjelasan di setiap keadaan demi menghindarkan diri dari ruang kesalahpahaman, mungkin saja ia mengira bahwa sosok Irene dari 5 tahun silam masih melekat pada diriku. Tapi sayangnya sosok penuh egoisme itu sudah lama aku lenyapkan, Irene yang laki-laki itu kenal sudah terlalu lama terkubur dengan masa lalu.
"Ah, hah...ehm.. iya yah.. Maaf. Kamu tahu kan, susah ngilangin kebiasaan?" ia mulai kikuk, lantas menatapku seolah ia tengah mengejek ku bahwa kebiasaannya mencari alasan adalah salahku. Oke aku akui, itu memang kebiasaan yang ia dapatkan selama 3 tahun menjadi suamiku, aku akui itu. Tapi bukankah setidaknya ia mencoba menyembunyikan atau minimal menahan diri dari kebiasaannya itu, membuatku merasa buruk saja.
Kucoba alihkan pandanganku agar suasana di ruangan itu tak terasa terlalu kikuk. Lantas kutatap Rava lamat. Tiba-tiba saja hatiku terenyuh perih, melihat Rava yang terbaring rapuh membuatku teringat pada janin yang tak sempat diizinkan Tuhan untuk hadir di dunia dalam pelukanku.
Kupikir jika janin itu terlahir ke dunia, akan seperti apa bentuknya, akan seperti apa parasnya. Jika di terlahir, apa dia juga akan menjadi bocah laki- laki kuat dan gagah seperti Rava, mungkin jika dia terlahir apakah hubunganku dan mas Juna akan tetap seperti sekarang? Aku mulai membayangkan hingga tak sadar ada bulir lembut mengalir pelan disudut mataku.
"Ren...?" panggil mas Juna lembut, mengejutkanku dari lamunan. Membuatku lantas buru-buru menghapus jejak basah disudut mataku lalu beralih pada mas Juna.
"Are you okay?" ucapnya memeriksa, mungkin saja ia membaca raut wajah sendu yang tengah coba ku sembunyikan.
"Fine!" kilahku cepat, kupasang senyum selebar mungkin. Tak ingin ia membaca raut wajahku lebih jauh, lantas mendapat celah untuk menggoyahkan pendirianku.
"Kamu gak pulang?"ia bertanya lagi. Raut wajahnya seakan memberitahu bahwa ia masih ingin berbicara lebih lama denganku, meski aku sedikit ragu dengan raut wajahnya yang selalu mudah kubaca itu.
"Gak, aku gantiin piket malam di IGD" ucapku berusaha seramah mungkin. Aku tak ingin terlihat canggung di depannya, jika aku berlaku demikian akan terlihat jelas bahwa masih ada perasaan tersisa yang aku sisikan untuknya. Meski kenyataannya seperti itu, aku hanya tak ingin ia tahu itu karena secepatnya aku ingin melenyapkan perasaan yang tersisa yang tak ingin aku mekarkan lagi untuk kedua kalinya.
"kalau gitu bisa ___"
"Aku pergi yah, masih banyak kerjaan" Buru-buru ku potong ucapannya. Meskipun aku tak tahu pasti apa yang hendak ia ucapkan, aku yakin sekali bahwa ia pasti ingin mengajakku berbicara, dan aku tak ingin itu.
"Oh, iya. See you then" ucapnya tersenyum selebar mungkin lantas melambai pelan padaku. Kutatap dirinya sejenak, lantas kubalas senyumnya dengan senyum simpul lalu beranjak meninggalkan ruangan.
Sepanjang langkah menuju ruangan kerjaku, kepalaku dipenuhi pikiran tentang banyak hal. Terutama setelah seharian ini aku terus bertemu mas Juna. Aku tak peduli laki-laki itu menjalin hubungan lagi dengan Jia, yang membuatku kesal adalah bagaimana bisa aku tak bisa menjaga sikapku didepan Jia dan mas Juna.
Ini sudah 5 tahun berlalu, seharusnya aku baik-baik saja. Namun nampaknya kenyataan tak seperti itu adanya. Setelah bertemu dengan mas Juna segala kenangan dan rasa sakit yang pernah aku lalui bercampur aduk jadi satu.
Aku diam sejenak, menatap ruangan kerjaku yang didominasi aroma hand sanitizer yang mendominasi, lantas meraih ponselku lalu menatap layarnya lekat yang menampilkan foto bayi mungil yang sudah menjadi layar kunci ponselku selama 5 tahun belakangan ini. Aku bukannya sedang melankolis, aku hanya tak ingin melupakan kehidupan yang pernah hadir walau hanya sebentar, tapi ia perlu tahu bahwa aku tetap mencintainya meskipun kami tak diberi kesempatan untuk tumbuh bersama.
Senyumku lantas mengembang, sedih iya. Tapi perasaan bahagia begitu aku tahu ia hidup dalam rahimku rasanya masih kurasakan hingga saat ini. Kuletakkan kembali ponselku, lantas aku melangkah keluar ruangan lalu berjalan menuju ruang NICU (Neonatal Intensive care Unite) tempat para bayi yang perlu pengawasan pasca dilahirkan.
Ruangan kaca yang menampilkan deretan inkubator dengan bayi mungil didalamnya, tempat aku melepas penat setelah seharian bekerja mondar- mandir ruang operasi dan ruang rawat inap. Aku selalu mampir kemari begitu pekerjaanku usai, rasanya melihat bayi- bayi mungil itu meski di balik dinding kaca membuatku semangat kembali.
Mereka terlihat lebih bersinar dari siapapun, terkadang air mataku akan sesekali meluruh begitu aku menatap mereka. Aku akan berdiri cukup lama di ruangan itu, mengingat seperti apa rasanya makhluk mungil bernama bayi tinggal di dalam rahimku. Aku terus mengingat rasa itu, aku tak ingin melupakannya sedikitpun.
Aku ingin terus mengingatnya, bagaimana bahagianya aku saat makhluk mungil itu menendang untuk pertama kalinya. Aku masih mengingat rasa itu, perasaan bahagia yang menjalar di seluruh hatiku, aku ingin mengingatnya untuk waktu yang lama.
"Disini lagi Dok?" Suara perawat muda yang berusia beberapa tahun lebih muda dariku mengejutkanku, sebut saja suster Evi.
"Eh iya nih Sus. Udah selesai piket?" sahutku menatapnya yang baru saja keluar dari ruang NICU.
"Iya, saya mau istirahat Dok, hehehe." tampak guratan lelah di wajahnya. Aku salut dengan mereka yang piket di bagian NICU, meski yang mereka lakukan hanya mengontrol bayi-bayi di inkubator, itu bukanlah pekerjaan mudah. Mereka harus memastikan bayi- bayi itu selalu baik-baik saja, karena mereka lebih sensitif dibandingkan bayi lain yang terlahir normal dan sehat.
"Istirahat yang cukup Sus, Seharian ini udah kerja keras" Ucapku menepuk pundaknya, lantas ku lontarkan seutas senyum menenangkan.
Suster Evi akhirnya menghilang di balik lorong. Aku juga seharusnya tak berlama- lama disini, karena tubuh dan pikiranku perlu diistirahatkan. Seharian ini terlalu melelahkan, hari yang singkat seperti sebelumnya jadi terasa begitu panjang karena aku terus mencoba menghindar dari mas Juna.
Aku berusaha terlalu keras hari ini. Aku memaksa diriku terlalu keras untuk bersikap defensif terhadap mas Juna dan Jia. Aku bisa saja berteman dengan mereka dan melupakan apa yang ku lalui hingga aku sampai pada tahap ini, namun aku terlalu tak percaya diri untuk melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...