Irene memandangi hasil screening milik ibu Juna dengan serius. Seperti yang sudah ia duga, wanita dengan usia hampir 1 abad itu divonis mengidap kanker ginjal stadium akhir. Pasti wanita itu sudah lama menahan rasa sakit di pinggangnya, dan segalanya menjadi buruk begitu akhirnya benjolan di pinggangnya menjadi seukuran kepalan tangan.
Irene bisa mengerti mengapa wanita itu tak berpikir untuk memeriksakan kondisinya, usia yang tua, cenderung membuat seseorang menjadi terbiasa dengan rasa sakit, terutama sakit dibagian seperti pinggang, mungkin wanita itu hanya mengirasa rasa sakit itu hanyalah penyakit orang tua biasa dan hanya perlu istirahat, namun nyatanya hal itu lebih parah dari yang pernah ia duga.
Hipertensinya semakin memperparah keadaan, sejak ia mengalami kejang, tekanan darahnya belum juga menyentuh angka normal, dan tentu saja prosedur operasi harus ditunda hingga waktu yang tidak bisa ditentukan, semuanya tergantung dari angka yang ditunjukkan oleh tensimeter.
"Gimana hasilnya sus?" Juna bangkit dari posisinya, menyambut petugas screening yang baru saja keluar dari ruangan.
"Silahkan masuk pak, Dokter Irene akan menjelaskan langsung" ucap petugas paramedis.
Laki-laki itu masuk ke ruang screening dengan segala perasaan tak tentu arah, ia bimbang sekaligus takut. Kenyataan bahwa mungkin saja ia harus menerima kemungkinan terburuk tak dapat ia pungkiri.
"Gimana Ren?" wajahnya lesu, ia terlihat lebih kuyu beberapa hari ini. Mungkin karena ia kurang tidur.
"Hffffffff..." Irene menghela napas berat, ia perlahan memutar arah komputer agar Juna bisa melihat secara langsung hasil screening milik ibunya.
"Mas Juna lihat lingkaran besar yang hampir menutupi sebagian ginjal ini?" Irene menunjukkan ligkaran yang ia maksud pada laki-laki itu, Juna mengangguk pelan, lingkaran itu tentu saja terlihat jelas, dan pastinya ia tak paham maksudnya.
"Ini sel kanker yang tumbuh hampir menutupi ginjal ibu kamu. bukan hanya di ginjal sebelah kiri, ginjal sebelah kanan pun demikian. Dan lebih parah lagi sel kanker sudah menyebar di jaringan lain, ibu kamu kanker ginjal stadium akhir mas." Irene berusaha menjelaskan sedetail mungkin tanpa ada yang ia lewatkan sedikit pun.
Juna diam, ia tak berkata apapun. Namun dari raut wajah dan juga sorot matanya yang sendu, Irene cukup tahu bahwa laki-laki itu terguncang dengan fakta yang baru saja ia terima.
"Kenyataan bahwa ibu kamu bertahan hingga saat ini, aku rasa dia benar-benar wanita hebat." Irene mengangguk, ia sedikit tak percaya bahwa wanita itu mampu menahan rasa sakit.
"Terus gimana?" Juna mengusap wajahnya gusar.
"Operasi?" wajahnya gusar meski ia berusaha menutupinya.
"Kapan bisa operasi? Bisa kan?" tangannya mulai gemetar, bibirnya kelu, ia hendak melanjutkan ucapannya sebelum akhirnya Irene menggenggam pergelangan tanggannya.
"Mas! Dengar!" intonasi suaranya sedikit tinggi, itu ia lakukan agar Juna bisa sedikit tenang dan mendengar penjelasannya dengan teliti.
"Ren, aku harus gimana?" katanya lagi, ia menatap Irene dengan kekhawatiran yang sudah mencapai batas maksimal. Semenyebalkan apapun ibunya, ibu tetaplah ibu, dan Juna sudah cukup kehilangan ayahnya, jika ibunya harus pergi juga mungkin kali ini Juna akan benar-benar terguncang.
"Aku gak bisa menutupi apapun tentang hal ini, jadi kamu harus dengar semuanya dengan baik agar kamu tahu keputusan apa yang bisa kamu lakukan untuk ibu kamu mas" ucap Irene tegas.
"Kamu dengar aku kan?" Irene memastikan sekali lagi bahwa Juna benar-benar mendengar ucapannya dengan baik. Laki-laki itu mengangguk, wajahnya masih saja terlihat gusar, namun ia berusaha mendengarkan apa yang akan Irene ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...